Dalam beberapa tahun terakhir hidupku,
aku sangat banyak belajar tentang kehidupan. Apa yang selama usia hidupku ngga
bener-bener aku cermati dengan baik. Tentang kesabaran, berbagi, rasa percaya,
kesetiaan, saling mengasihi dan banyak rasa lainnya.
Sebetulnya dalam bagian ini aku agak
sulit menuangkan dalam kata-kata, karena sekat di antaranya sangat tipis
sehingga rasanya bisa saling menembus. Beberapa yang datangnya sering
bersamaan.
Subuh pagi tadi, tanteku, adik
satu-satunya almarhumah ibuku berpulang ke haribaanNya. Hampir tepat setahun
dua bulan sejak meninggalnya almarhumah ibuku. Peristiwa ini seperti mengulang
sebuah peristiwa yang sama, puluhan tahun yang lalu. Ketika almarhum om, meninggal
tepat setahun setelah meninggalnya almarhum bapak. Mereka berempat memang punya
hubungan batin yang dekat, karena masing-masing berhubungan saudara. Tapi itu
bukan inti pembicaraanku kali ini.
Beberapa tahun terakhir, entah kapan
persisnya semua keruwetan itu dimulai, yang aku tahu, tiba-tiba aku dapati,
hubunganku dengan keluarga tante berada dalam situasi yang tidak baik. Banyak
prasangka dan penilaian sepihak yang berperan di dalamnya, terhadap diriku dan
tentang keadaanku. Untuk semua itu, aku memilih untuk bersikap menjauh dan
mengambil jarak yang menurutku aman sehingga mereka ngga bias menjangkauku,
hingga kondisiku membaik, menurutku.
Tanpa terasa waktu berjalan dan keadaan
yang jadi seperti perang dingin diam-diam itu seperti tanpa akhir, karena aku
bener-bener mengasingkan diriku sendiri. Dan meletakkan diriku sendiri dalam
dunia baru tanpa ingin diganggu siapapun, yang selama ini melakukan penilaian
sepihak.
Hingga tadi pagi, berita duka itu kudengar.
Aku terdiam. Dan merenung. Apa yang dibawa seseorang untuk pergi menghadapNya,
ketika waktu telah habis? Dia pergi begitu saja meninggalkan semua masalah yang
belum sempat diselesaikannya di dunia ini. Bahkan mengucap maaf dan terima
kasih saja, ngga mungkin lagi. Sedangkang kita, yang ditinggalkan dan masih
harus melanjutkan hidup, juga dengan masalah kita sendiri, ditambah mungkin
sedikit beban yang harus diselesaikan almarhum/almarhumah, yang menjadi
tanggung jawab kita.
Tapi semua permintaan maaf dan kata
terimakasih itu terputus sampai di sana, tak berbalas.
Aku tak berandai-andai dengan apa yang
tidak kulakukan atau yang telah kuputuskan telah kulakukan selama ini. Tapi aku
belajar bahwa, apapun yang kita rasakan, menyelesaikan masalah dalam hidup ini
akan jauh lebih ringan ketika kita hanya mengingat kuasa Alloh. Kuasa apapun
yang bisa dilakukan atas kita. Dan untuk bisa membawa kita melangkah hari demi
hari. Hanya penilaian Alloh yang perlu untuk kita, karena itu kita akan berbuat
kebaikan pada sesama. Hanya kasih dan kemudahan Alloh untuk kita, karena itu
kita akan berbuat yang terbaik dalam hidup kita. Itu saja. Tidak lebih, tidak
kurang.
Begitu juga, ketika malam ini, tiba-tiba
sebuah rasa sakit yang masih menyisakan luka di batin, karena sebuah
ketidakjujuran orang yang aku sayangi, menyeruak menyiksa…. Aku terdiam. Aku
merenung. Kenapa aku tidak menyerahkan kembali semua rasa yang tidak sanggup aku
jalani kepadaNya? Bukankah selama ini Dia selalu ada untukku? Meskipun akhirnya
air mata ini tetap meleleh di pipiku, tapi itu lebih karena rasa syukur bahwa
aku memiliki kasihNya yang luar biasa, yang membuatku mampu menghadapi ini
semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar