Senin, 17 Desember 2012

Inti Kehidupan




Dalam beberapa tahun terakhir hidupku, aku sangat banyak belajar tentang kehidupan. Apa yang selama usia hidupku ngga bener-bener aku cermati dengan baik. Tentang kesabaran, berbagi, rasa percaya, kesetiaan, saling mengasihi dan banyak rasa lainnya.

Sebetulnya dalam bagian ini aku agak sulit menuangkan dalam kata-kata, karena sekat di antaranya sangat tipis sehingga rasanya bisa saling menembus. Beberapa yang datangnya sering bersamaan.

Subuh pagi tadi, tanteku, adik satu-satunya almarhumah ibuku berpulang ke haribaanNya. Hampir tepat setahun dua bulan sejak meninggalnya almarhumah ibuku. Peristiwa ini seperti mengulang sebuah peristiwa yang sama, puluhan tahun yang lalu. Ketika almarhum om, meninggal tepat setahun setelah meninggalnya almarhum bapak. Mereka berempat memang punya hubungan batin yang dekat, karena masing-masing berhubungan saudara. Tapi itu bukan inti pembicaraanku kali ini.

Beberapa tahun terakhir, entah kapan persisnya semua keruwetan itu dimulai, yang aku tahu, tiba-tiba aku dapati, hubunganku dengan keluarga tante berada dalam situasi yang tidak baik. Banyak prasangka dan penilaian sepihak yang berperan di dalamnya, terhadap diriku dan tentang keadaanku. Untuk semua itu, aku memilih untuk bersikap menjauh dan mengambil jarak yang menurutku aman sehingga mereka ngga bias menjangkauku, hingga kondisiku membaik, menurutku.

Tanpa terasa waktu berjalan dan keadaan yang jadi seperti perang dingin diam-diam itu seperti tanpa akhir, karena aku bener-bener mengasingkan diriku sendiri. Dan meletakkan diriku sendiri dalam dunia baru tanpa ingin diganggu siapapun, yang selama ini melakukan penilaian sepihak.

Hingga tadi pagi, berita duka itu kudengar. Aku terdiam. Dan merenung. Apa yang dibawa seseorang untuk pergi menghadapNya, ketika waktu telah habis? Dia pergi begitu saja meninggalkan semua masalah yang belum sempat diselesaikannya di dunia ini. Bahkan mengucap maaf dan terima kasih saja, ngga mungkin lagi. Sedangkang kita, yang ditinggalkan dan masih harus melanjutkan hidup, juga dengan masalah kita sendiri, ditambah mungkin sedikit beban yang harus diselesaikan almarhum/almarhumah, yang menjadi tanggung jawab kita.

Tapi semua permintaan maaf dan kata terimakasih itu terputus sampai di sana, tak berbalas.

Aku tak berandai-andai dengan apa yang tidak kulakukan atau yang telah kuputuskan telah kulakukan selama ini. Tapi aku belajar bahwa, apapun yang kita rasakan, menyelesaikan masalah dalam hidup ini akan jauh lebih ringan ketika kita hanya mengingat kuasa Alloh. Kuasa apapun yang bisa dilakukan atas kita. Dan untuk bisa membawa kita melangkah hari demi hari. Hanya penilaian Alloh yang perlu untuk kita, karena itu kita akan berbuat kebaikan pada sesama. Hanya kasih dan kemudahan Alloh untuk kita, karena itu kita akan berbuat yang terbaik dalam hidup kita. Itu saja. Tidak lebih, tidak kurang.

Begitu juga, ketika malam ini, tiba-tiba sebuah rasa sakit yang masih menyisakan luka di batin, karena sebuah ketidakjujuran orang yang aku sayangi, menyeruak menyiksa…. Aku terdiam. Aku merenung. Kenapa aku tidak menyerahkan kembali semua rasa yang tidak sanggup aku jalani kepadaNya? Bukankah selama ini Dia selalu ada untukku? Meskipun akhirnya air mata ini tetap meleleh di pipiku, tapi itu lebih karena rasa syukur bahwa aku memiliki kasihNya yang luar biasa, yang membuatku mampu menghadapi ini semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar