Di Jakarta ini sudah sangat
jamak berbagai macam jasa taksi yang ditawarkan, dan berlalu lalang di jalanan,
menymbang kemacetan di setiap ruas jalan dan bagian kota megapolitan yang super
duper sibuk ini. Pada jam-jam tertantu, bahkan terasa sulit untuk mendapatkan
taksi kosong, karena pemakai jasanya yang hilir berganti. Ya...taksi memang
jadi salah satu pilihan utama alat transportasi yang tergolong ekslusif.
Namun sayangnya, di tengah
maraknya jasa taksi yang semakin dibutuhkan, tidak diimbangi dengan peningkatan
kualitas etika pengemudi taksi itu sendiri, yang menurut saya, makin hari,
makin tidak memenuhi standar kepantasan yang layak untuk dijual, sebagai
pendukung jasa angkutan ekskluif ini.
Padahal seharusnya, dengan
tarif sedemikian rupa, pelanggan sungguh sangat pantas mendapatkan pelayanan
dan kesopanan yang setidaknya nyaman bagi standar etika yang normal.
Terus terang, saya pernah
beberapa kali mendapat pengalaman kurang menyenangkan dari pengemudi (dalam hal
ini) yang kebetulan semuanya taksi Ekspreso. Alasannya ? Karena menurut tuan
pengemudi yang berjasa itu, jarak dan rupiah yang akan diterimanya tidak sesuai
harapannya, alias terlalu dekat.
Jadi ceritanya, beberapa
kali, naik taksi dari suatu tempat ke tempat lain, yang kalo dihitung argonya
tidak lebih dari 10 ribu atau maksimal 20 ribu rupiah. Alih-alih mendapat
perjalanan yang nyaman (dibanding harus berpanas-panas naik angkot) saya malah
jadi mual di jok belakang, karena sang pengemudi terhormat itu nyetir dengan
cara yang kasar, ngepot, ngebut tanpa sebab, bahka ngerem juga dengan kasar,
seperti orang angot yang ga jelas begitu.
Awalnya, saya masih mencoba
memaklumi situasi ini, dengan berpikir bahwa mungkin beliau lagi ada masalah.
Masih harus ditambah dengan mikirin setoran yang memang menurut cerita para
sopir taksi, cukup berat untuk dipenuhi, di tengah persaingan yang berat.
Tapi beberapa kali mendapat
perlakuan yang sama, dari sopir taksi berbeda (Dari penyedia jasa taksi yang
sama yaitu ‘Ekspreso’), ketika naik dengan jarak yang tidak terlalu jauh,
membuat saya bisa menarik kesimpulan bahwa mereka jengkel dengan urusan uang
‘receh’ yang sudah terbayang di matanya, bakal diterima dari saya.
Satu kali. Dua kali. Tiga
kali. Lho ?1 Memangnya apa salah saya
dengan itu ? Saya kan bayar ? Pake uang beneran, bukan pake daun ? Bukan juga
ngemis numpang gratisan ? Perlu dicatat bahwa (bukan sok kaya) saya selalu
membayar minimal 15 ribu untuk jarak yang dekat sekali itu.
Tapi uang 15-20 ribu itu
membuat mereka menyetir seperti sedang menyetir odong-odong rusak yang remnya
hampir blong dan sopirnya yang hampir hilang akal dan mabok karena belom terima
duit berhari-hari. Bahkan mereka tidak mengucapkan terimakasih atau kata apapun
ketika menerima uang ‘receh’ tersebut dari saya. Juga meskipun ketika akhirnya
mereka tahu bahwa saya membayar lebih banyak dari argo yang seharusnya.
Ini sangat keterlaluan !
Mereka meremehkan penumpang hanya karena urusan uang receh. Ini sangat
disesalkan. Harusnya jarak jauh atau dekat tidak boleh mempengaruhi kualitas
pelayanan mereka. Terus ? Bagaimana ? Seharusnya pengelola taksi tidak hanya
sibuk merekrut sopir tidak berkualitas etika cukup untuk menyetir taksinya.
Seharusnya Pengelola juga melakukan pembinaan teknis dan etika secara berkala
pada semua sopir taksinya, supaya mereka pandai memberikan pelayanan terbaik
kepada pelanggan.
Pelanggan (yang sopan) juga
manusia, sama seperti mereka, punya akal dan perasaan, sama seperti mereka.
Mereka harusnya ingat, bahwa pelanggan bisa menghargai pekerjaan mereka. Saya
selalu mengucapkan ‘maaf’ ketika mengangsurkan uang pembayaran kepada sopir dan
‘terima kasih’ ketika akan meninggalkan mobil.
Saya sudah mengadukan
kekecewaan saya kepada pengelola. Sayangnya, pengelola taksi terkesan bermurah
hati dalam bersikap terhadap sopirnya yang tidak sopan kepada pelanggan. Kenapa
? Apa karena pengelola lebih butuh sopir dibandingkan pelanggan ? Ini cara berpikir yang aneh kan ?
Tanpa etika, taksi bisa
sepi pelanggan. Kalo sudah begitu, apa gunanya punya armada ribuan dengan sopir
berkualitas etika di bawah standar ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar