Hari ini
tepat 100 hari atau bulan ketiga Bunda pergi meninggalkan kami. Terasa begitu
banyak cinta dan kasih sayang yang hilang bersama perginya Bunda. Kehampaan
masih menyergapku di lorong-lorong sunyi dan gelap, waktu berjalan terasa
begitu lambat. Aku tertatih-tatih melakukan segalanya sendirian tanpa Bunda.
Di rumah
ini, semua masih belum berubah dan tak akan ada yang berubah. Warna tirai rumah masih warna kesukaan
bunda, lembayung muda dengan hiasan bordir mawar putih. Vas bungan berisi bunga sedap
malam dirangkai dengan daun palem, juga masih tetap sama seperti dulu. Pot-pot
tanaman bonsai, lantana, sanseviera, lili paris ,
mawar, bugenvil, tetap tumbuh subur dalam rawatanku.
Hari ini, 100 hari setelah Bunda pergi
sejak ia direnggutkan oleh berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya saat
itu. Aku selalu menjaganya, saat dia berjuang melawan deritanya. Aku tak pernah
mengerti mengapa Bunda harus terkena kanker rahim dan anemia kronis, ditambah
pula tubuhnya mudah alergi pada beberapa jenis obat-obatan yang membuat
penanggulangan penyakitnya bertambah sulit. Beberapa kali dokter mengatakan
kepada kami untuk selalu siap menerima yang terbaik bagi Bunda, yaitu
merelakannya kembali kepada Sang Khalik.
Di mataku Bunda adalah wanita yang cantik
dan lemah lembut, tak pernah marah, apalaggi berkata-kata kasar. Bunda sangat
menghargai kehidupan yang dijalaninya sebagai ibu rumah tangga, yang tak banyak
menuntut ini dan itu, walau Ayah bisa membelikannya apa saja. Dia berdandan
sederhana, tapi tetap terlihat anggun, karena kecantikannya memancar keluar
dari hati yang tulus.
Bunda mengajarkan segalanya padaku,
termasuk tentang demokrasi dan berbicara dari hati ke hati jika ada persoalan
sekecil apapun. Dimataku, Bunda adalah segalanya dan seorang wanita yang mulia.
Ayah pun begitu khusus menempatkan Bunda sebagai seorang istri dan sahabat
baginya.
Tak akan cukup untuk melukiskan betapa
kelembutan, cinta dan belaian kasih sayangnya yang luhur dalam membesarkanku
dan menjaga keutuhan rumah tangga yang ia bina bersama Ayah.
Masih terbayang jelas dalam ingatanku
hari terakhir di rumah sakit, bagaimana dokter kepala yang merawat Bunda
mengabari kami baerdua, aku dan Ayah bahwa Bunda tak tertolong lagi. Betapa
suasana kelebihan menyelimuti kami berdua. Bunda adalah belahan jiwa kami.
Bunda adalah separuh nafas kami.
Kenyataan bahwa Bunda telah pergi waktu
itu bukan hanya membuatku merasa tinggal seorang diri di dunia ini. Aku merasa
hidupku seperti tak berarti lagi. Dan jiwaku hampa tanpa pegangan.
Kini baru genap
100 hari Bunda pergi, makamnya pun bemul dipasangi marmer, aku begitu terkejut
dan terenyak mendengar keterusterangan Ayah. Ayah yang kubanggakan , sudah
bersiap akan menikah lagi ?
Apa yang
terjadi pada Ayah ? Belum lama kami tergugu bersama, menangis bersama, bahkan
aroma melati penghias keranda jemazah pun sesekali masih tercium wanginya di
rumah ini ? Kenapa Ayah tega sekali dalam waktu secepat ini akan menikah lagi ?
Aku tak
mungkin menahan-nahan Ayah, kalau suatu saat kelak dia hendak menikah lagi.
Tapi kenapa harus dalam waktu yang sesingkat ini ? Kenapa bukan nanti saja,
satu atau dua tahun lagi ?
”Ayah hendak
menikahi Tante Meis , karyawan kantor cabang dari perusahaan yang Ayah pimpin,”
begitu kata Ayah tadi pagi membuat hatiku bergetar dalam rasa terkejut dan
marah.
”Jadi selama
ini Ayah selingkuh dengannya ?” teriakku marah.
Air mata
langsung mengalir tanpa bisa dihentikan.
”Bukan
maksud Ayah mengkhinati Bunda. Ayah sudah begitu lama mengenal Tante Meis.
Mulai sekarang kamu juga harus mengenalnya lebih dekat lagi. Kamu bukan anak
kecil lagi Diva, kamu tidak akan menduga siapa Tante Meis itu. Dia juga tak
kalah hebat dari Bunda kita.”
”bukan itu
yang Diva inginkan. Tentu saja banyak wanita yang lebih hebat dari Bunda di
luar sana. Tapi, Bunda belum lama pergi. Baru beberapa bulan saja, bahkan di
makamnya belum dipasang batu marmer. Begitu cepatnya Ayah melupakan Bunda !”
sentakku marah dan meninggalkannya termangu.
Aku tak bisa
memungkiri aku kecewa dan sangat benci dengan keinginan Ayah itu. Aku mencium,
perselingkuhan mereka telah berlangsung lama. Bunda memang tak bisa berbuat
banyak untuk melayani Ayah dengan penyakit yang dideritanya.
Aku nekat
mendatangi kantor Tante Meis siang harinya. Aku memang sudah lama mengenal
wanita ini. Beberapa tahun yang lalu, dia sekantor dengan Ayah. Sekarang dia
ditugaskan memimpin kantor cabang. Beberapa kali aku bersama Ayah dan Tante
Meis makan siang, waktu aku datang ke kantor mereka. Waktu itu entah kenapa,
aku tidak mencurigai apapun, kecuali kurasakan tante itu sangat ramah dan penuh
perhatian padaku.
Waktu Bunda
terbaring di rumah sakit, seingatku beberapa kali tante itu datang bersama
rekan-rekan sekantor dan teman Ayah lainnya. Mereka membawa rankaian bunga dan
buah-buahan. Juga pada saat pemakaman Bunda, Tante Meis ikut mengantarkan.
Aku masih
ingat, ketika di pemakaman Bunda, Tante Meis adalah satu-satunya orang lain di
luar aku, Ayah dan keluarga Bunda yang terlihat menangis. Sungguh sandiwara
yang hebat. Selama ini diam-diam dia telah merampas Ayah dari aku dan Bunda.
Maka, ketika
aku dipersilakan masuk ke ruangan kantornya, berhadapan langsung dengannya,
sebelum aku terbuai seketika oleh senyum ramahnya yang penuh basa basi murahan,
aku memuntahkan emosiku. Aku menudingnya bahwa diam-diam dia adalah...perampas
suami orang, mengkhianati sesama wanita yang sedang lemah tak berdaya.
Aku terus
mengancamnya bahwa ia tak akan pernah bisa merampas Ayah dariku. Merampas
satu-satunya yang tersisa di antara keluarga kami.
Sialnya, dia
malah tersenyum mendengar rentetan hujatanku. Dia memperlakukan aku seperti
anak kecil yang kehilangan mainan. Dia seperti tak mau tahu tentang emosiku
yang meluap penuh kebencian kepadanya. Dia malah sibuk menanyakan aku mau minum
apa, sudah makan atau belum, pulang mau diantar atau tidak.
Memangnya
aku anak kecil ? Aku juga wanita karier seperti dia ! Oke, itu baru awal Tante,
kataku ketika akan meninggalkan ruangannya. Sesak dadaku sudah termuntahkan
meskipun aku belum merasa puas. Besok lusa aku akan menarik-narik rambut panjangnya
yang diluruskan itu. Jadi tunggu saja episode berikutnya, Tante.
Ayah
mmenyambutku di ruang tamu ketika aku pulang dari kantor sore itu.
”Duduk”,
katanya singkat.
Kulihat ia
tegang Baru kali ini aku melihat wajahnya seperti itu.
”Ayah
sungguh tidak menyangka. Tidak sepantasnya kamu merendahkan Tante Meis.
Perbuatan kamu tidak mencerminkan kedewasaan. Ayah menyesal kamu berbuat
sekasar itu padanya. Padahal hal ini bisa dibicarakan baik-baik.’
”Karena baru
tiga bulan Bunda pergi, Ayah !” balasku tajam.
”ayah
mengerti itu. Tapi dengar dulu. Setelah kamu ke kantor Tante Meis, dia datang
menemui Ayah. Kesimpulan yang kami bicarakan, Ayah akan menjelaskan rahasia dia
antara Ayah, Bunda dan Tante Meis kepada kamu secepatnya dan melupakan skenario
yang telah kami susun sebelumnya.
Rahasia apa
? Rahasia perselingkuhan ? Hatiku begitu geram.
”Saat kamu
masih SMA dan sering Ayah suruh datang ke kantor, kami berduai ngin
menjelaskannya tapi Bunda tidak setuju. Bunda sangat sayang padamu dan tidak
ingin kehilanganmu. Hingga kemudian kami
memutuskan untuk menutup rapat-rapat rahasia ini selamanya. Tapi setelah Bunda
tiada, tak mungkin lagi rahasi ini terus terpendam. Jadi hanya tinggal soal
waktu saja.”
Rahasia ?
Sudah terbongkar kok masih rahasia ?
”Diva,
rencana Ayah menikah dengan Tante Meis sebenarnya karena ingin menyatukan anak
yang Ayah cintai... Ayah terpaksa mengingkari janji Ayah pada Bunda untuk
menyimpan rahasia ini selamanya.
Tiba-tiba
aku mulai tersihir mendengar kata-kata Ayah yang dikatakannya dengan ekspresi
wajah sangat serius. Aku terdiam. Aku belum pernah melihatnya dalam ekspresi
seperti itu.
”Sebenarnya
almarhumah Bunda tak pernah melahirkan seorang anak pun seumur hidupnya dalam
perkawinannya dengan Ayah. Karena setelah beberapa kali mengalami keguguran,
dokter mengatakan bahwa Bunda tak boleh hamil lagi untuk menghindari hal yang
tak diinginkan. Kami jadi kesepian. Bunda memutuskan untuk mengambil seorang
anak...”
Sandiwara
apa pula ini ?
”Kebetulan
Ayah berjumpa Tante Meis yang sedang melamar pekerjaan di kantor Ayah. Saat
melamar itu dia membawa seorang bayi mungil berusia 4 bulan dan ia sangat
membutuhkan pekerjaan. Tante Meis baru saja ditinggal pergi oleh suaminya
karena kecelakaan, sebulan setelah melahirkan. Ayah akhirnya menerima Tante Meis
bekerja. Ayah dan Bunda sangat tergugah untuk mengadopsi bayinya. Tante Meis
mengabulkan permintaan kami.”
Aku
terkesima.
”Bayi mungil
yang montok itu sekarang sudah menjadi sarjana dan seorang karyawan yang cantik
dan baik hati, tapi sekarang kerjanya cuma marah-marah tak karuan seperti anak
kecil. Bayi mungil itu adalah kamu, Diva...”
Aku mencoba
menantang bola mata Ayah dengan tajam. Aku mencari apakah mata itu telah
berbohong dengan sandiwaranya yang hebat / Pandanganku berputar-putar. Aku tak
merasa melihat dustadi sana, lalu bagaimana mungkin aku bisa menerima semua
kenyataan ini ?
Bahwa
Bundaku tercinta bukan ibu kandungku ? Ayahku tercinta yang sangat kuidolakan
selama ini juga bukan ayah kandungku ? Aku ternyata cuma anak pungut. Bagaimana
mungkin ?
”Diva...bukan
maksud Ayah...”
”Diva anak
pungut. Begitu maksud Ayah ?”
”Jangan
berkata begitu Diva, ini sudah suratan takdir.”
”Ayah berkata jujur tentang Diva ?”
“Untuk apa Ayah bohong ? Demi Alloh, Ayah
tidak berbohong. Ayah tidak selingkuh. Niat Ayah hanya untuk menyatukan kamu
dengan ibu kandungmu tanpa harus membuka rahasia yang selama ini sudah kami
simpan, karena Ayah tidak ingin kita berpisah.”
Aku mematung tanpa kata, lalu mengambil
kunci mobil dan menghambur keluar. Sungguh cerita paling hebat yang pernah
kudengar dan telah berhasil memukulku dengan telak.
Dengan
leluasa aku mengeluarkan mobil dan tancap gas, karena garasi belum ditutup. Mobil
kularikan sekencang-kencangnya. Aku cuma anak pungut ! Aku cuma anak pungut ! Aku bukan darah daging Ayah
ataupun Bunda ! Bagaimana bisa ?
Aku tiba di
tepi jalan pemakaman Bunda. Kepada siapa aku harus mengadukan nasibku yang sial
ini ?
Pemakaman
terasa sunyi. Aku mematikan mesin mobil. Hanya
suara deru angin malam yang terdengar. Aku hanya seorang anak pungut. Ayah
kandungku sudah meninggal saat usiaku baru beberapa bulan. Apakah aku sedang
bermimpi ? Kasih sayang dan perhatian yang kudapatkan selama ini
sungguh membekas di hati. Begitu elok dan lembut dia memperlakukanku seumur
hidupnya, hingga dia pergi selamanya. Dia tak pernah berkata keras dan marah.
Bagaimana
bisa dalam sekejap kini aku telah menjadi asing dengan diriku sendiri ? Semua
yang kumiliki seperti dirampas tiba-tiba. Aku terlahir, lalu dibesarkan dalam
sebuah keluarga yang sangat menyayangiku, lalu tiba-tiba dalam sehari kemudian,
kehidupanku berubah menjadi kenyataan lain. Rasanya, aku sedang bermimpi indah,
lalu terbangun tiba-tiba. Hari yang telah mengubah segalanya setelah 100 hari
kepergian Bunda untuk selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar