Rabu, 10 Oktober 2012

100 Hari




Hari ini tepat 100 hari atau bulan ketiga Bunda pergi meninggalkan kami. Terasa begitu banyak cinta dan kasih sayang yang hilang bersama perginya Bunda. Kehampaan masih menyergapku di lorong-lorong sunyi dan gelap, waktu berjalan terasa begitu lambat. Aku tertatih-tatih melakukan segalanya sendirian tanpa Bunda.

Di rumah ini, semua masih belum berubah dan tak akan ada yang berubah. Warna tirai rumah masih warna kesukaan bunda, lembayung muda dengan hiasan bordir  mawar putih. Vas bungan berisi bunga sedap malam dirangkai dengan daun palem, juga masih tetap sama seperti dulu. Pot-pot tanaman bonsai, lantana, sanseviera, lili paris, mawar, bugenvil, tetap tumbuh subur dalam rawatanku.


Hari ini, 100 hari setelah Bunda pergi sejak ia direnggutkan oleh berbagai komplikasi penyakit yang dideritanya saat itu. Aku selalu menjaganya, saat dia berjuang melawan deritanya. Aku tak pernah mengerti mengapa Bunda harus terkena kanker rahim dan anemia kronis, ditambah pula tubuhnya mudah alergi pada beberapa jenis obat-obatan yang membuat penanggulangan penyakitnya bertambah sulit. Beberapa kali dokter mengatakan kepada kami untuk selalu siap menerima yang terbaik bagi Bunda, yaitu merelakannya kembali kepada Sang Khalik.

Di mataku Bunda adalah wanita yang cantik dan lemah lembut, tak pernah marah, apalaggi berkata-kata kasar. Bunda sangat menghargai kehidupan yang dijalaninya sebagai ibu rumah tangga, yang tak banyak menuntut ini dan itu, walau Ayah bisa membelikannya apa saja. Dia berdandan sederhana, tapi tetap terlihat anggun, karena kecantikannya memancar keluar dari hati yang tulus.

Bunda mengajarkan segalanya padaku, termasuk tentang demokrasi dan berbicara dari hati ke hati jika ada persoalan sekecil apapun. Dimataku, Bunda adalah segalanya dan seorang wanita yang mulia. Ayah pun begitu khusus menempatkan Bunda sebagai seorang istri dan sahabat baginya.
Tak akan cukup untuk melukiskan betapa kelembutan, cinta dan belaian kasih sayangnya yang luhur dalam membesarkanku dan menjaga keutuhan rumah tangga yang ia bina bersama Ayah.

Masih terbayang jelas dalam ingatanku hari terakhir di rumah sakit, bagaimana dokter kepala yang merawat Bunda mengabari kami baerdua, aku dan Ayah bahwa Bunda tak tertolong lagi. Betapa suasana kelebihan menyelimuti kami berdua. Bunda adalah belahan jiwa kami. Bunda adalah separuh nafas kami.

Kenyataan bahwa Bunda telah pergi waktu itu bukan hanya membuatku merasa tinggal seorang diri di dunia ini. Aku merasa hidupku seperti tak berarti lagi. Dan jiwaku hampa tanpa pegangan.
Kini baru genap 100 hari Bunda pergi, makamnya pun bemul dipasangi marmer, aku begitu terkejut dan terenyak mendengar keterusterangan Ayah. Ayah yang kubanggakan , sudah bersiap akan menikah lagi ?

Apa yang terjadi pada Ayah ? Belum lama kami tergugu bersama, menangis bersama, bahkan aroma melati penghias keranda jemazah pun sesekali masih tercium wanginya di rumah ini ? Kenapa Ayah tega sekali dalam waktu secepat ini akan menikah lagi ?

Aku tak mungkin menahan-nahan Ayah, kalau suatu saat kelak dia hendak menikah lagi. Tapi kenapa harus dalam waktu yang sesingkat ini ? Kenapa bukan nanti saja, satu atau dua tahun lagi ?
”Ayah hendak menikahi Tante Meis , karyawan kantor cabang dari perusahaan yang Ayah pimpin,” begitu kata Ayah tadi pagi membuat hatiku bergetar dalam rasa terkejut dan marah.

”Jadi selama ini Ayah selingkuh dengannya ?” teriakku marah.
Air mata langsung mengalir tanpa bisa dihentikan.

”Bukan maksud Ayah mengkhinati Bunda. Ayah sudah begitu lama mengenal Tante Meis. Mulai sekarang kamu juga harus mengenalnya lebih dekat lagi. Kamu bukan anak kecil lagi Diva, kamu tidak akan menduga siapa Tante Meis itu. Dia juga tak kalah hebat dari Bunda kita.”

”bukan itu yang Diva inginkan. Tentu saja banyak wanita yang lebih hebat dari Bunda di luar sana. Tapi, Bunda belum lama pergi. Baru beberapa bulan saja, bahkan di makamnya belum dipasang batu marmer. Begitu cepatnya Ayah melupakan Bunda !” sentakku marah dan meninggalkannya termangu.

Aku tak bisa memungkiri aku kecewa dan sangat benci dengan keinginan Ayah itu. Aku mencium, perselingkuhan mereka telah berlangsung lama. Bunda memang tak bisa berbuat banyak untuk melayani Ayah dengan penyakit yang dideritanya.

Aku nekat mendatangi kantor Tante Meis siang harinya. Aku memang sudah lama mengenal wanita ini. Beberapa tahun yang lalu, dia sekantor dengan Ayah. Sekarang dia ditugaskan memimpin kantor cabang. Beberapa kali aku bersama Ayah dan Tante Meis makan siang, waktu aku datang ke kantor mereka. Waktu itu entah kenapa, aku tidak mencurigai apapun, kecuali kurasakan tante itu sangat ramah dan penuh perhatian padaku.

Waktu Bunda terbaring di rumah sakit, seingatku beberapa kali tante itu datang bersama rekan-rekan sekantor dan teman Ayah lainnya. Mereka membawa rankaian bunga dan buah-buahan. Juga pada saat pemakaman Bunda, Tante Meis ikut mengantarkan.

Aku masih ingat, ketika di pemakaman Bunda, Tante Meis adalah satu-satunya orang lain di luar aku, Ayah dan keluarga Bunda yang terlihat menangis. Sungguh sandiwara yang hebat. Selama ini diam-diam dia telah merampas Ayah dari aku dan Bunda.

Maka, ketika aku dipersilakan masuk ke ruangan kantornya, berhadapan langsung dengannya, sebelum aku terbuai seketika oleh senyum ramahnya yang penuh basa basi murahan, aku memuntahkan emosiku. Aku menudingnya bahwa diam-diam dia adalah...perampas suami orang, mengkhianati sesama wanita yang sedang lemah tak berdaya.

Aku terus mengancamnya bahwa ia tak akan pernah bisa merampas Ayah dariku. Merampas satu-satunya yang tersisa di antara keluarga kami.

Sialnya, dia malah tersenyum mendengar rentetan hujatanku. Dia memperlakukan aku seperti anak kecil yang kehilangan mainan. Dia seperti tak mau tahu tentang emosiku yang meluap penuh kebencian kepadanya. Dia malah sibuk menanyakan aku mau minum apa, sudah makan atau belum, pulang mau diantar atau tidak.

Memangnya aku anak kecil ? Aku juga wanita karier seperti dia ! Oke, itu baru awal Tante, kataku ketika akan meninggalkan ruangannya. Sesak dadaku sudah termuntahkan meskipun aku belum merasa puas. Besok lusa aku akan menarik-narik rambut panjangnya yang diluruskan itu. Jadi tunggu saja episode berikutnya, Tante.

Ayah mmenyambutku di ruang tamu ketika aku pulang dari kantor sore itu.
”Duduk”, katanya singkat.

Kulihat ia tegang Baru kali ini aku melihat wajahnya seperti itu.
”Ayah sungguh tidak menyangka. Tidak sepantasnya kamu merendahkan Tante Meis. Perbuatan kamu tidak mencerminkan kedewasaan. Ayah menyesal kamu berbuat sekasar itu padanya. Padahal hal ini bisa dibicarakan baik-baik.’

”Karena baru tiga bulan Bunda pergi, Ayah !” balasku tajam.

”ayah mengerti itu. Tapi dengar dulu. Setelah kamu ke kantor Tante Meis, dia datang menemui Ayah. Kesimpulan yang kami bicarakan, Ayah akan menjelaskan rahasia dia antara Ayah, Bunda dan Tante Meis kepada kamu secepatnya dan melupakan skenario yang telah kami susun sebelumnya.

Rahasia apa ? Rahasia perselingkuhan ? Hatiku begitu geram.
”Saat kamu masih SMA dan sering Ayah suruh datang ke kantor, kami berduai ngin menjelaskannya tapi Bunda tidak setuju. Bunda sangat sayang padamu dan tidak ingin kehilanganmu. Hingga  kemudian kami memutuskan untuk menutup rapat-rapat rahasia ini selamanya. Tapi setelah Bunda tiada, tak mungkin lagi rahasi ini terus terpendam. Jadi hanya tinggal soal waktu saja.”

Rahasia ? Sudah terbongkar kok masih rahasia ?
”Diva, rencana Ayah menikah dengan Tante Meis sebenarnya karena ingin menyatukan anak yang Ayah cintai... Ayah terpaksa mengingkari janji Ayah pada Bunda untuk menyimpan rahasia ini selamanya.

Tiba-tiba aku mulai tersihir mendengar kata-kata Ayah yang dikatakannya dengan ekspresi wajah sangat serius. Aku terdiam. Aku belum pernah melihatnya dalam ekspresi seperti itu.

”Sebenarnya almarhumah Bunda tak pernah melahirkan seorang anak pun seumur hidupnya dalam perkawinannya dengan Ayah. Karena setelah beberapa kali mengalami keguguran, dokter mengatakan bahwa Bunda tak boleh hamil lagi untuk menghindari hal yang tak diinginkan. Kami jadi kesepian. Bunda memutuskan untuk mengambil seorang anak...”
Sandiwara apa pula ini ?

”Kebetulan Ayah berjumpa Tante Meis yang sedang melamar pekerjaan di kantor Ayah. Saat melamar itu dia membawa seorang bayi mungil berusia 4 bulan dan ia sangat membutuhkan pekerjaan. Tante Meis baru saja ditinggal pergi oleh suaminya karena kecelakaan, sebulan setelah melahirkan. Ayah akhirnya menerima Tante Meis bekerja. Ayah dan Bunda sangat tergugah untuk mengadopsi bayinya. Tante Meis mengabulkan permintaan kami.”
Aku terkesima.

”Bayi mungil yang montok itu sekarang sudah menjadi sarjana dan seorang karyawan yang cantik dan baik hati, tapi sekarang kerjanya cuma marah-marah tak karuan seperti anak kecil. Bayi mungil itu adalah kamu, Diva...”

Aku mencoba menantang bola mata Ayah dengan tajam. Aku mencari apakah mata itu telah berbohong dengan sandiwaranya yang hebat / Pandanganku berputar-putar. Aku tak merasa melihat dustadi sana, lalu bagaimana mungkin aku bisa menerima semua kenyataan ini ?
Bahwa Bundaku tercinta bukan ibu kandungku ? Ayahku tercinta yang sangat kuidolakan selama ini juga bukan ayah kandungku ? Aku ternyata cuma anak pungut. Bagaimana mungkin ?  

”Diva...bukan maksud Ayah...”

”Diva anak pungut. Begitu maksud Ayah ?”

”Jangan berkata begitu Diva, ini sudah suratan takdir.”

”Ayah berkata jujur tentang Diva ?”

“Untuk apa Ayah bohong ? Demi Alloh, Ayah tidak berbohong. Ayah tidak selingkuh. Niat Ayah hanya untuk menyatukan kamu dengan ibu kandungmu tanpa harus membuka rahasia yang selama ini sudah kami simpan, karena Ayah tidak ingin kita berpisah.”

Aku mematung tanpa kata, lalu mengambil kunci mobil dan menghambur keluar. Sungguh cerita paling hebat yang pernah kudengar dan telah berhasil memukulku dengan telak.
Dengan leluasa aku mengeluarkan mobil dan tancap gas, karena garasi belum ditutup. Mobil kularikan sekencang-kencangnya. Aku cuma anak pungut ! Aku cuma  anak pungut ! Aku bukan darah daging Ayah ataupun Bunda ! Bagaimana bisa ?

Aku tiba di tepi jalan pemakaman Bunda. Kepada siapa aku harus mengadukan nasibku yang sial ini ?

Pemakaman terasa sunyi. Aku mematikan mesin mobil. Hanya suara deru angin malam yang terdengar. Aku hanya seorang anak pungut. Ayah kandungku sudah meninggal saat usiaku baru beberapa bulan. Apakah aku sedang bermimpi ? Kasih sayang dan perhatian yang kudapatkan selama ini sungguh membekas di hati. Begitu elok dan lembut dia memperlakukanku seumur hidupnya, hingga dia pergi selamanya. Dia tak pernah berkata keras dan marah.

Bagaimana bisa dalam sekejap kini aku telah menjadi asing dengan diriku sendiri ? Semua yang kumiliki seperti dirampas tiba-tiba. Aku terlahir, lalu dibesarkan dalam sebuah keluarga yang sangat menyayangiku, lalu tiba-tiba dalam sehari kemudian, kehidupanku berubah menjadi kenyataan lain. Rasanya, aku sedang bermimpi indah, lalu terbangun tiba-tiba. Hari yang telah mengubah segalanya setelah 100 hari kepergian Bunda untuk selamanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar