26
Juni
Tiara terus mendentingkan piano besarnya
dari sudut ruangan temaram itu. Sesekali ia melayangkan tatapan sendunya
menembus ruangan, mencari sosok yang telah sanggup memberi arti bagi hidupnya,
menambah warna pada hari-hari kelabunya, mempersembahkahkan kelembutan pada
kekerasan dunia, menghangatkan malam-malam bekunya.
10
Januari
Malam itu Tiara mendentingkan ‘Fly Me to
The Moon’ dalam alunan bosanova yang romantis. Ketika itu ia menyisipkan
dentingan-dentingan genit di antara bait-baitnya, mata indah Tiara terperangkap
pada tatapan seorang pria tengah baya yang duduk di samping pilar besar di
sayap kiri ruangan ini.
Dia belum pernah melihatnya. Tiara
bertanya-tanya mengapa pria bermata elang itu menatapnya tajam , namun
menyembunyikan senyuman hatinya. Tanpa sadar, Astari tersenyum gembira. Ada aliran hangat mengalir
dalam darahnya sehingga kelincahan jemarinya bertambah. Ada perasaan arus melayang yang membawanya
terbang ke bulan. Tiara berharap bisa mnegetahui siapa tamu memesona itu.
Namun dia tak pernah mengijinkan dirinya untuk turun dan mendekati tamunya, tal
seorang pun, walau tugasnya telah selesai. Dia tak akan melangkahi batas yang
telah digariskannya sendiri.
16 Januari
Malam
berikutnya Tiara diam-diam mengharap akan melihat si mata kelam itu duduk di
antara pengunjung lainnya. Tapi sampai dia memainkan lagu ketiganya, tamu
khusus itu tak juga tampak. Tiara mencoba menghibur dirinya dengan terus
menatap meja di sayap kiri yang masih kosong itu. Hendra teman sekerjanya pastilah
dipesan untuk mengosongkan kursi tesebut bagi ’tamunya’ bisik Tiara dalam
hatinya. Ada rasa malu karena berharap pada sesuatu yang tak mungkin, namun
wanita cantik dua puluh lima tahun ini memilih untuk terus berharap.
Pukul
sebelas malam, Tiara membuka pintu kamarnya untuk mengganti gaun malamnya
dengan ’seragam’ kesehariannya berupa jeans ketat yang dibuat agak lusuh dan
t-shirt tebal. Dia tak mungkin mengenakan gaun mewah untuk pulang mengemudikan
mobil tuanya sendiri, walau Hendra yang baik hati , dengan setia mengikutinya
dari belakang hingga Tiara masuk ke kompleks perumahannya.
Lampu kamar
langsung menyala otomatis ketika pintu terbuka. Seikat besar bunga mawar merah
tua tergeletak menunggunya di atas meja rias. Jantung Tiara serasa behenti berdetak.
Bergegas ia mencari kartu yang biasanya menyertai buket bunga. Tak ada debaran
khusus ketika itu, sampai dia sadar bahwa ternyata dia tak dapat menemukan
secarik kertas pun pada buket mewah itu.
Siapa
pengirimnya ? Dia tak mungkin menanyakan hal itu kepada siapapun karena
teman-temannya sudah pulang, kecuali Hendra. Tapi Hendra juga tidak akan tahu,
karena dia selalu sibuk melayani tamu dari balik meja barnya. Pasti Mbak Diah,
yang tahu karena dialah satu-satunya yang memegang segala kuni gedung ini.
Tetapi saat ini jelas dia sudah pulang.
Diangkatnya buket mawar itu dan dengan
ragu-ragu diciumnya wangi bunga itu. Keharumannya menambah kuat debar
jantungnya. Si Mata Kelam ? Begitu hatinya berbisik. Tanpa disadarinya Tiara
mendekap kumpulan mawar itu hingga duri-duri kecilnya menembus kulit dada
atasnya yang tak tertutup gaun hitam anggunnya.
17
Januari
Tanpa disadari Tiara, malam itu dia
memainkan lagu-lagi lembut dan sendu mewakili hatinya yang tiba-tiba biru
merindu. Beberapa orang tamu yang duduk di meja terdepan dekat piano sempat
menanyakan sesuatu padanya. ”Lagi rindu sama siapa sih ?”
Tiara tak menjawab, dia hanya tersenyum
bahagia. Dia jatuh cinta, pada cinta itu sendiri. Dia menggerakkan kepalanya, dan
menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya tanpa berhenti pada sudut di sayap
kiri ruangan satu detik pun. Dia tak berani dan tak mau terperangkap.
Saat
istirahat, seorang pianis lainnya, Angkasa menggantikannya. Dia mengajak
seorang penyanyi wanita bersuara lembut seperti suara anak-anak. Tiara turun
dan segera disambut oleh Mbak Diah yang menyodorkan secarik surat bersampul
”Dari siapa
Mbak ?” tanya Tiara tenang.
”Mungkin
dari yang kemarin mengirim bunga buat Mbak Tiara,” jawabnya sambil tersenyum
simpul.
”mungkin ?”
tanya Tiara bingung.
”Ya kemarin
malam Mbak Tiara dapat bunga kan ? Yang
mengirim, sih, sopir, dan dia tidak memberitahu siapa yang menyuruhnya.”
“Oh,
terimakasih, Mbak,” dia tak dapat menahan detak jantungnya yang semakin
kencang. Tiara segera berlari ke kamarnya dan membuka sampu; surat putih dari
kertas yang menyerupai kain itu.
”Tiara, aku mengundangmu makan malam di atas. Tolong
mainkan ”Fly Me to The Moon jika kau setuju”
Mengagumi dan menunggumu.
Sultan.
Setengah jam kemudian, Tiara memainkan
pianonya lagi. Inginnya dia
langsung memainkan ‘Fly Me to The Moon’ namun dia harus yakin bahwa memang si
mata kelamlah pengirim undangan itu. Ketika dia mendentingkan ‘When You Tell Me
that You Love Me’ diam-diam dia ingin tahu reaksinya, apakah dia terlihat
mengunngu lagu itu atau tisak.
Ternyata pria berambut kelabu itu tidak tampak cemas sedikit pun ! Dan ketika akhirnya Tiara
memainkan lagu tersebut, pemilik mata kelam itu juga tak bereaksi istimewa.
Tiara tersenyum dalam hati, dia sangat yakin bahwa pemilik mata kelam itu
adalah pengirim mawar merah itu. Tiara seakan menangkap ada kilatan mata
meredup dari sayap kiri ruangan itu.
Pukul
sepuluh malam itu, Tiara menaiki tangga restoran setelah mendapat kecupan
’hati-hati’ dari Hendra yang berjanji akan menunggunya sampai Tiara selesai. Dia
sangat bersyukur memiliki teman seperti Hendra, dia seperti seorang abang yang
tak pernah dimilikinya.
Restoran di
atas sangat romantis suasananya. Musik lembut mengalir memenuhi ruangan sejuk,
belum lagi bunga-bunga putih kecil dan lenggang lenggok lilin-lilin di setiap
meja di hadapan pasangan-pasangan kasmaran. Seseorang yang telah dikenalnya,
menyambutnya. ”Malam Tiara. Ayo kuantar ke mejamu.”
’Terimakasih,
Dan,” kata Tiara menahan debar jantungnya.
Dani
membawanya ke ruang makan tertutup. Tiara menjadi agak ragu. Dani yang berjalan
di sampingnya merasakannya.
”Dia sangat
sopan. Tiara. Aku pernah beberapa kali
bertemu dengannya di Malaysia, dan juga di London, sebelum aku bekerja di sini,” kata Dani menenangkan.
”O ya ?”
Kata Tiara tersenum tipis. ”Siapa dia, Dan ?”
”Kau akan
tahu nanti,” bisik Dani menenangkan Tiara.
"Kau baik
sekali Dan,” kata Tiara sambil menatap Dani lembut.
”Karena kau
selalu baik pada siapa saja, Tiara sayang. Nah silakan masuk. Aku akan antar
kau sampai ke dalam,” lanjut Dani sambil membukakan pintu.
Seorang pria
berdiri ketika Tiara masuk ke ruangan dan melangkah mendekati meja bertaplak
kain damas putih.
”Selamat
malam, Tiara. Aku senang, kau mau datang,” begitu katanya sambil mengulurkan
tangannya mengambil tangan mungil Tiara dan membawa jemari lembut itu ke
bibirnya. Lalu pria itu menoleh dan tersenyum kepada Dani. Dani mengangguk dan
meninggalkan mereka berdua saja.
Pria
setengah baya, berambut mengelabu pada pelipisnya itu, bergerak ke belakang
kursi Tiara dan menariknya sedikit. Ketika Tiara sudah berada di depan kursi,
dia mendorongnya lagi bagi Tiara.
”Terimakasih,”
suara Tiara hampir takterdengar, walau dia tak bermaksud berbisik.
”Kau suka
mawar merah itu ?” tanya Sultan hati-hati.
”Ya,
terimakasih. Aku membawanya pulang, dan semua orang terkejut. Ibu senang ketika
aku meletakkannya di ruang tamu kami. Beliau bilang, karumnya bisa mengusir
sakit kepalanya,” kata Tiara tenang. Dia merasa nyaman bersama pria asing ini,
mungkin karena Dani telah mengatakan betapa sopannya pria ini, dan kini Tiara
merasakannya.
Sultan tak
pernah sedetik pun menatapnya dengan tatapan yang dapat membuatnya tak nyaman.
Sultan tak pernah berusaha meraih tangannya, atau menyentuh sepatunya di bawah
meja. Mereka menikmati makan malam mereka dengan tenang seperti dua sahabat
lama yang bertemu kembali. Mereka membincangkan negeri-negeri yang pernah
dikunjungi Sultan, buku-buku yang mereka baca, dan musik yang mereka sukai .
Ini adalah makan malam terindah bagi Tiara, walau hanya berlangsung dua jam saja.
Sultan
mengantar Tiara sampai bertemu Hendra di bawah. Kembali Sultan mengecup jemari
Tiara sebelum berpisah.
”Kau
kelihatan senang sekali Tiara,” kata Hendra sambil membukakan pintu baginya.
Malam ini Hendra berniat mengantar Tiara pulang karena malam sudah larut.
”Ya, Hen.
Dan kau adalah temanku yang sangat baik.” Hendra tertawa. Dia merasakan
kebahagiaan Tiara dengan tulus.
”Hen,” kata
Tiara setelah mereka berada di dalam mobil, ”kukira aku jatuh cinta,” lanjut
Tiara riang sambil memutar tubuhnya menghadap Hendra di sampingnya, gaun
putihnya bergemerisik di bawah tubuhnya.
”Aku tahu,
aku dapat melihatnya,” jawab Hendra membalas senyum Tiara. ”Hati-hati, Tiara,
dia adalah orang penting di negerinya.”
”Aku tahu Hendra,” ujar Tiara perlahan. Gadis yang sedang kasmaran itu duduk
agak melorot, letih, namun bahagia.
”Dia juga
sudah beristri.”
”Aku juga
tahu itu,” suara Tiara semakin lirih.
14 Februari
Suatu ketika
Tiara dan Sultan sedang bermalam di sebuah hotel di Nusa Dua . Pagi hari ketika
Tiara terbangun, Sultan tak ada di kamar mereka. Tiara mencari-carinya dan
menemukan secarik kertas outih dengan tulisan tangan Sultan yang tegas, dalam
bahasa Inggris.
”Tiara, dewiku. Aku harus menemui seseorang. Aku akan
kembali saat makan siang. Please, jangan tinggalkan kamar.
Pria yang sangat memujamu.”
Sultan
Tiara merasa
khawatir. Diam-diam dia membuka pintu kamarnya dan dilihatnya dua orang
pengawal Sultan yang sudah dikenalnya tengah berjalan hilir mudik di ujung
lorong ini. Sejenak Tiara bertanya-tanya siapa sesungguhnya kekasihnya itu.
Sampai ketika dia secara tak benar-benar ingin menonton televisi, dia
menyalakan pesawat televisi dan memilih saluran televisi hotel. Mereka sedang
menyiarkan sebuah pertemuan bisnis antara dua negara yang sedang membicarakan kerja
sama pariwisata.
Tiara
mengenali wakil dari Indonesia dan dia terkejut ketika melihat Sultan duduk di
sana juga dan tampak sangat penting. Tetapi anehnya dia dipanggil dengan nama
yang berbeda. Tiara merasakan kaku di lehernya ketika dia mendengar seseorang
memanggil Sultan dengan sebutan Yang Mulia. Ternyata pria yang sangat memujanya
itu adalah seorang Pangeran dari negeri Jiran !
16 April
”Tiara, aku
serahkan apartemen ini untukmu,” bisiknya pada telinga mungil Tiara yang wangi
kembang jasmin.
”Untukku ?”
tanya Tiara tanpa terkejut sama sekali. Ketika itu Sultan sudah empat bulan
bersamanya, dan Tiara sudah sangat tahu relung hati terdalam pria penting ini.
Dia tahu betul betapa Sultan sangat memujanya bagaikan dewi. Kalau mungkin,
Sultan akan berikan bintang Timur itu baginya. Jadi, setelah bulan lalu, pada
hari ulang tahunnya, 13 Maret, dia mendapatkan dirinya mengendarai sebuah sedan
Perancis mungil, Peugeot 307 berwarna merah hati, dan kemudian ketika kini
memasuki sebuah apartemen mewah, sama sekali tak mengejutkannya.
”Ya, dewiku.
Kita akan menciptakan surga firdaus di sini. Berdua saja,” sambung Sultan. Tiba-tiba tangan-tangan kuatnya telah
mengangkat tubuh ramping Tiara. Dia membopong wanita pujaannya itu masuk ke
dalam dan dengan kakinya dia menutup dengan lembut pintu besar dibelakangnya.
Tiara tertawa lembut. Ya dia bahagia.
Belum pernah dalam hidupnya dia begitu dimanjakan.
Sebelum mandi, Tiara menyalakan televise
kecil di depan tempat tidurnya. “Head Line News” tengah dibacakan oleh seorang
pembaca berita. Tiba-tiba wajah Sultab tampak begitu dekat. Senyum kepuasan
tersungging lebar. Tetapi Tiara dapat menangkap sinar sunyi dari mata Sultan.
Peresmian sebuah hotel mewah di pinggir pantai Sanur pagi tadi telah
menghalangi Sultan untuk duduk di sayap kiri ruangan itu mala mini. Dia kini
pastilah sedang makan malam bersama para pejabat negeri ini.
Di
belakangnya berkelebat bayangan wajah seorang pemuda sangat tampan, Pastilah
anak lelaki Sultan, mereka begitu mirip. Dia
menatap ibunya dari belakang. Entah mengapa seorang kameraman meng-close up
wajahnya. Sorot matanya tajam, bibirnya terkatup rapat, dia seperti sedang
memikirkan sesuatu.
Di sebelah Sultan berdiri seorang wanita
cantik berusia sekitar empat puluh tujuh tahunan. Wajah cantiknya tampak begitu
tenang dan matang. Tarikan wajahnya anggun, khas seorang putrid bangsawan.
Tiara kembali terpesona pada wajah puas seorang istri pangeran, wajah seorang
yang sangat tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana.
Tiara
terpaku di atas tumpukan pakaiannya. Tubuh setengah telanjangnya seperti
membeku ketika tatapan mata sang Putri itu seolah terarah kepadanya. Begitu tajam, begitu dingin seperti
pedang stakagtit di gua salju. Senyuman yang mengembang, tarikan dagu yang
mencuat indah namun begitu penuh kuasa… Putri itu tahu .
Tangan Tiara
meraba remote control dan mengganti saluran. Dia tak mau menambah bebannya mala
mini. Tubuh rampingnya terseret ke kamar mandi. Alunan musik klasik yang hampir
tak pernah didentingkannya di bar, mengalir memasuki kamar mandinya juga.
Setelah
mengatur suhu air, Tiara menyalakan lilin-lilin wangi, menebarkan
kelopak-kelopak lepas bunga mawar dan meneteskan beberapa tetes minyak ke dalam
bak mandinya. Aroma mengembang bersama uap hangat. Sekali lagi diperiksanya
suhu air mandinya. Setelah merasa nyaman, dia memasukkan tungkai-tungkai
indahnya satu persatu. Kehangatan air itu begitu mempengaruhi suasana hati
Tiara. Begitu tubuhnya sudah berada di balik lautan busa harum, dia memejamkan
matanya. Sensasi aroma terapi
Membungkusnya
nyaman seperti dalam dekapan lembut Sultan.
Tiara
memejamkan matanya. Kristal-kristal garam seperti mengusapnya lebut. Dia
membiarkan tubuhnya menjadi begitu pasrah dan setengah temnggelam. Wajah
keemasannya tersembul di garis permukaan air, sedangkan rambut panjang kelamnya
menari-nari di dalamnya.
Sekelebat
bayangan hitam, ramping, tinggi dan terbungkus pakaian ketat, menyelinap ke
dalam kamar mandinya. Mengendap tak bersuara, seperti kucing. Lelaki muda itu
membungkus kepalanya dengan sebuah topi main ski. Terlihat kilatan tajam
sepasang matanya dari balik kain wol itu. Sejenak bayangan itu berhenti,
menatap wajah eksotis Tiara yang begitu damai tersembul dari lautan busa wangi.
Mata Tiara yang terpejam
bergerak-gerak seperti sedang bermim dalam tidurnya, sementara bibir ranumnya
merekah. Sepasang mata tajam di bawah topi itu menyipit penuh kebencian, kemudian
dia berkelebat lagi seperti hantu.
Tangannya
yang juga terbungkus sarung tangan hitam, meraih alat pengering rambut dari
atas meja marmer. Dinyalakannya alat tersebut. Suara mendesing lembut segera
terdengan dari alat itu. Pria muda itu merasa senang karena alunan musik dari
CD di kamar tidur, cukup menutup suara alat pengering rambut yang digenggamnya.
Kemudian dia mendap lagi mendekati bak mandi.
Dia menarik nafas dalam. Dada bidangnya terlihat naik dan turun. Dia seolah
sedang menguatkan hatinya. Sejenak diamatinya pengering rambut dengan kabel
terjulur panjang itu. Lalu matanya kembali menyalang.
“Sultan ?”
bisik Tiara tanpa membuka matanya. Bibirnya tersenyum seperti puas akan sesuatu
yang tadi dinikmatinya dalam mimpinya.
Dengan cepat bayangan hitam itu
melemparkan alat pengering rambut yang mendesing lembut di tangannya ke dalam
bak air kembang itu.
Tiara
tersentak dan membuka matanya. Namun belum sempat dia meloncat dari lautan
kembang itu, sengatan listrik telah menariknya ke bawah permukaan air dan
menguncinya di sana.
Pria muda
itu membuka kedoknya perlahan.
”Kau tak
boleh memiliki Papa. Wanita jalang !” desis pemuda taman bermata tajam itu
sambil meninggalkan kamar mandi dengan tenang.
Ketika dia
melewati sebuah meja tulis kecil antik di dalam kamar itu, di atasnya
tergeletak sebuah buku harian indah yang terbuka. Sebuah pena mas Mont Blanc,
tergeletak di tengahnya.
Well done, I admire the valuable information you offer in your articles.
BalasHapusPlots in Raj Nagar Extension
property in raj nagar extension Ghaziabad