Rabu, 10 Oktober 2012

Fly Me to The Moon




26 Juni
Tiara terus mendentingkan piano besarnya dari sudut ruangan temaram itu. Sesekali ia melayangkan tatapan sendunya menembus ruangan, mencari sosok yang telah sanggup memberi arti bagi hidupnya, menambah warna pada hari-hari kelabunya, mempersembahkahkan kelembutan pada kekerasan dunia, menghangatkan malam-malam bekunya.

10 Januari
Malam itu Tiara mendentingkan ‘Fly Me to The Moon’ dalam alunan bosanova yang romantis. Ketika itu ia menyisipkan dentingan-dentingan genit di antara bait-baitnya, mata indah Tiara terperangkap pada tatapan seorang pria tengah baya yang duduk di samping pilar besar di sayap kiri ruangan ini.


Dia belum pernah melihatnya. Tiara bertanya-tanya mengapa pria bermata elang itu menatapnya tajam , namun menyembunyikan senyuman hatinya. Tanpa sadar, Astari tersenyum gembira. Ada aliran hangat mengalir dalam darahnya sehingga kelincahan jemarinya bertambah. Ada perasaan arus melayang yang membawanya terbang ke bulan. Tiara berharap bisa mnegetahui siapa tamu memesona itu. Namun dia tak pernah mengijinkan dirinya untuk turun dan mendekati tamunya, tal seorang pun, walau tugasnya telah selesai. Dia tak akan melangkahi batas yang telah digariskannya sendiri.

16 Januari
Malam berikutnya Tiara diam-diam mengharap akan melihat si mata kelam itu duduk di antara pengunjung lainnya. Tapi sampai dia memainkan lagu ketiganya, tamu khusus itu tak juga tampak. Tiara mencoba menghibur dirinya dengan terus menatap meja di sayap kiri yang masih kosong itu. Hendra teman sekerjanya pastilah dipesan untuk mengosongkan kursi tesebut bagi ’tamunya’ bisik Tiara dalam hatinya. Ada rasa malu karena berharap pada sesuatu yang tak mungkin, namun wanita cantik dua puluh lima tahun ini memilih untuk terus berharap.

Pukul sebelas malam, Tiara membuka pintu kamarnya untuk mengganti gaun malamnya dengan ’seragam’ kesehariannya berupa jeans ketat yang dibuat agak lusuh dan t-shirt tebal. Dia tak mungkin mengenakan gaun mewah untuk pulang mengemudikan mobil tuanya sendiri, walau Hendra yang baik hati , dengan setia mengikutinya dari belakang hingga Tiara masuk ke kompleks perumahannya.

Lampu kamar langsung menyala otomatis ketika pintu terbuka. Seikat besar bunga mawar merah tua tergeletak menunggunya di atas meja rias. Jantung Tiara serasa behenti berdetak. Bergegas ia mencari kartu yang biasanya menyertai buket bunga. Tak ada debaran khusus ketika itu, sampai dia sadar bahwa ternyata dia tak dapat menemukan secarik kertas pun pada buket mewah itu.

Siapa pengirimnya ? Dia tak mungkin menanyakan hal itu kepada siapapun karena teman-temannya sudah pulang, kecuali Hendra. Tapi Hendra juga tidak akan tahu, karena dia selalu sibuk melayani tamu dari balik meja barnya. Pasti Mbak Diah, yang tahu karena dialah satu-satunya yang memegang segala kuni gedung ini. Tetapi saat ini jelas dia sudah pulang.

Diangkatnya buket mawar itu dan dengan ragu-ragu diciumnya wangi bunga itu. Keharumannya menambah kuat debar jantungnya. Si Mata Kelam ? Begitu hatinya berbisik. Tanpa disadarinya Tiara mendekap kumpulan mawar itu hingga duri-duri kecilnya menembus kulit dada atasnya yang tak tertutup gaun hitam anggunnya.

17 Januari
Tanpa disadari Tiara, malam itu dia memainkan lagu-lagi lembut dan sendu mewakili hatinya yang tiba-tiba biru merindu. Beberapa orang tamu yang duduk di meja terdepan dekat piano sempat menanyakan sesuatu padanya. ”Lagi rindu sama siapa sih ?”

Tiara tak menjawab, dia hanya tersenyum bahagia. Dia jatuh cinta, pada cinta itu sendiri. Dia menggerakkan kepalanya, dan menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya tanpa berhenti pada sudut di sayap kiri ruangan satu detik pun. Dia tak berani dan tak mau terperangkap.
Saat istirahat, seorang pianis lainnya, Angkasa menggantikannya. Dia mengajak seorang penyanyi wanita bersuara lembut seperti suara anak-anak. Tiara turun dan segera disambut oleh Mbak Diah yang menyodorkan secarik surat bersampul

”Dari siapa Mbak ?” tanya Tiara tenang.

”Mungkin dari yang kemarin mengirim bunga buat Mbak Tiara,” jawabnya sambil tersenyum simpul.

”mungkin ?” tanya Tiara bingung.
”Ya kemarin malam Mbak Tiara dapat bunga kan ? Yang mengirim, sih, sopir, dan dia tidak memberitahu siapa yang menyuruhnya.”

“Oh, terimakasih, Mbak,” dia tak dapat menahan detak jantungnya yang semakin kencang. Tiara segera berlari ke kamarnya dan membuka sampu; surat putih dari kertas yang menyerupai kain itu.

”Tiara, aku mengundangmu makan malam di atas. Tolong mainkan ”Fly Me to The Moon jika kau setuju”  
Mengagumi dan menunggumu.
Sultan.



Setengah jam kemudian, Tiara memainkan pianonya lagi. Inginnya dia langsung memainkan ‘Fly Me to The Moon’ namun dia harus yakin bahwa memang si mata kelamlah pengirim undangan itu. Ketika dia mendentingkan ‘When You Tell Me that You Love Me’ diam-diam dia ingin tahu reaksinya, apakah dia terlihat mengunngu lagu itu atau tisak.

Ternyata pria berambut kelabu itu tidak tampak cemas sedikit pun ! Dan ketika akhirnya Tiara memainkan lagu tersebut, pemilik mata kelam itu juga tak bereaksi istimewa. Tiara tersenyum dalam hati, dia sangat yakin bahwa pemilik mata kelam itu adalah pengirim mawar merah itu. Tiara seakan menangkap ada kilatan mata meredup dari sayap kiri ruangan itu.

Pukul sepuluh malam itu, Tiara menaiki tangga restoran setelah mendapat kecupan ’hati-hati’ dari Hendra yang berjanji akan menunggunya sampai Tiara selesai. Dia sangat bersyukur memiliki teman seperti Hendra, dia seperti seorang abang yang tak pernah dimilikinya.

Restoran di atas sangat romantis suasananya. Musik lembut mengalir memenuhi ruangan sejuk, belum lagi bunga-bunga putih kecil dan lenggang lenggok lilin-lilin di setiap meja di hadapan pasangan-pasangan kasmaran. Seseorang yang telah dikenalnya, menyambutnya. ”Malam Tiara. Ayo kuantar ke mejamu.”

’Terimakasih, Dan,” kata Tiara menahan debar jantungnya.
Dani membawanya ke ruang makan tertutup. Tiara menjadi agak ragu. Dani yang berjalan di sampingnya merasakannya.

”Dia sangat sopan. Tiara.  Aku pernah beberapa kali bertemu dengannya di Malaysia, dan juga di London, sebelum aku bekerja  di sini,” kata Dani menenangkan.

”O ya ?” Kata Tiara tersenum tipis. ”Siapa dia, Dan ?”

”Kau akan tahu nanti,” bisik Dani menenangkan Tiara.

"Kau baik sekali Dan,” kata Tiara sambil menatap Dani lembut.

”Karena kau selalu baik pada siapa saja, Tiara sayang. Nah silakan masuk. Aku akan antar kau sampai ke dalam,” lanjut Dani sambil membukakan pintu.

Seorang pria berdiri ketika Tiara masuk ke ruangan dan melangkah mendekati meja bertaplak kain damas putih.

”Selamat malam, Tiara. Aku senang, kau mau datang,” begitu katanya sambil mengulurkan tangannya mengambil tangan mungil Tiara dan membawa jemari lembut itu ke bibirnya. Lalu pria itu menoleh dan tersenyum kepada Dani. Dani mengangguk dan meninggalkan mereka berdua saja.

Pria setengah baya, berambut mengelabu pada pelipisnya itu, bergerak ke belakang kursi Tiara dan menariknya sedikit. Ketika Tiara sudah berada di depan kursi, dia mendorongnya lagi bagi Tiara.

”Terimakasih,” suara Tiara hampir takterdengar, walau dia tak bermaksud berbisik.

”Kau suka mawar merah itu ?” tanya Sultan hati-hati.

”Ya, terimakasih. Aku membawanya pulang, dan semua orang terkejut. Ibu senang ketika aku meletakkannya di ruang tamu kami. Beliau bilang, karumnya bisa mengusir sakit kepalanya,” kata Tiara tenang. Dia merasa nyaman bersama pria asing ini, mungkin karena Dani telah mengatakan betapa sopannya pria ini, dan kini Tiara merasakannya.

Sultan tak pernah sedetik pun menatapnya dengan tatapan yang dapat membuatnya tak nyaman. Sultan tak pernah berusaha meraih tangannya, atau menyentuh sepatunya di bawah meja. Mereka menikmati makan malam mereka dengan tenang seperti dua sahabat lama yang bertemu kembali. Mereka membincangkan negeri-negeri yang pernah dikunjungi Sultan, buku-buku yang mereka baca, dan musik yang mereka sukai . Ini adalah makan malam terindah bagi Tiara, walau hanya berlangsung dua jam saja.

Sultan mengantar Tiara sampai bertemu Hendra di bawah. Kembali Sultan mengecup jemari Tiara sebelum berpisah.

”Kau kelihatan senang sekali Tiara,” kata Hendra sambil membukakan pintu baginya. Malam ini Hendra berniat mengantar Tiara pulang karena malam sudah larut.

”Ya, Hen. Dan kau adalah temanku yang sangat baik.” Hendra tertawa. Dia merasakan kebahagiaan Tiara dengan tulus.

”Hen,” kata Tiara setelah mereka berada di dalam mobil, ”kukira aku jatuh cinta,” lanjut Tiara riang sambil memutar tubuhnya menghadap Hendra di sampingnya, gaun putihnya bergemerisik di bawah tubuhnya.

”Aku tahu, aku dapat melihatnya,” jawab Hendra membalas senyum Tiara. ”Hati-hati, Tiara, dia adalah orang penting di negerinya.”

”Aku tahu Hendra,” ujar Tiara perlahan. Gadis yang sedang kasmaran itu duduk agak melorot, letih, namun bahagia.

”Dia juga sudah beristri.”

”Aku juga tahu itu,” suara Tiara semakin lirih.

14 Februari
Suatu ketika Tiara dan Sultan sedang bermalam di sebuah hotel di Nusa Dua . Pagi hari ketika Tiara terbangun, Sultan tak ada di kamar mereka. Tiara mencari-carinya dan menemukan secarik kertas outih dengan tulisan tangan Sultan yang tegas, dalam bahasa Inggris.

”Tiara, dewiku. Aku harus menemui seseorang. Aku akan kembali saat makan siang. Please, jangan tinggalkan kamar.
Pria yang sangat memujamu.”
Sultan

Tiara merasa khawatir. Diam-diam dia membuka pintu kamarnya dan dilihatnya dua orang pengawal Sultan yang sudah dikenalnya tengah berjalan hilir mudik di ujung lorong ini. Sejenak Tiara bertanya-tanya siapa sesungguhnya kekasihnya itu. Sampai ketika dia secara tak benar-benar ingin menonton televisi, dia menyalakan pesawat televisi dan memilih saluran televisi hotel. Mereka sedang menyiarkan sebuah pertemuan bisnis antara dua negara yang sedang membicarakan kerja sama pariwisata.

Tiara mengenali wakil dari Indonesia dan dia terkejut ketika melihat Sultan duduk di sana juga dan tampak sangat penting. Tetapi anehnya dia dipanggil dengan nama yang berbeda. Tiara merasakan kaku di lehernya ketika dia mendengar seseorang memanggil Sultan dengan sebutan Yang Mulia. Ternyata pria yang sangat memujanya itu adalah seorang Pangeran dari negeri Jiran !

16 April
”Tiara, aku serahkan apartemen ini untukmu,” bisiknya pada telinga mungil Tiara yang wangi kembang jasmin.

”Untukku ?” tanya Tiara tanpa terkejut sama sekali. Ketika itu Sultan sudah empat bulan bersamanya, dan Tiara sudah sangat tahu relung hati terdalam pria penting ini. Dia tahu betul betapa Sultan sangat memujanya bagaikan dewi. Kalau mungkin, Sultan akan berikan bintang Timur itu baginya. Jadi, setelah bulan lalu, pada hari ulang tahunnya, 13 Maret, dia mendapatkan dirinya mengendarai sebuah sedan Perancis mungil, Peugeot 307 berwarna merah hati, dan kemudian ketika kini memasuki sebuah apartemen mewah, sama sekali tak mengejutkannya.

”Ya, dewiku. Kita akan menciptakan surga firdaus di sini. Berdua saja,” sambung Sultan. Tiba-tiba tangan-tangan kuatnya telah mengangkat tubuh ramping Tiara. Dia membopong wanita pujaannya itu masuk ke dalam dan dengan kakinya dia menutup dengan lembut pintu besar dibelakangnya.

Tiara tertawa lembut. Ya dia bahagia. Belum pernah dalam hidupnya dia begitu dimanjakan.

Sebelum mandi, Tiara menyalakan televise kecil di depan tempat tidurnya. “Head Line News” tengah dibacakan oleh seorang pembaca berita. Tiba-tiba wajah Sultab tampak begitu dekat. Senyum kepuasan tersungging lebar. Tetapi Tiara dapat menangkap sinar sunyi dari mata Sultan. Peresmian sebuah hotel mewah di pinggir pantai Sanur pagi tadi telah menghalangi Sultan untuk duduk di sayap kiri ruangan itu mala mini. Dia kini pastilah sedang makan malam bersama para pejabat negeri ini.

Di belakangnya berkelebat bayangan wajah seorang pemuda sangat tampan, Pastilah anak lelaki Sultan, mereka begitu mirip. Dia menatap ibunya dari belakang. Entah mengapa seorang kameraman meng-close up wajahnya. Sorot matanya tajam, bibirnya terkatup rapat, dia seperti sedang memikirkan sesuatu.

Di sebelah Sultan berdiri seorang wanita cantik berusia sekitar empat puluh tujuh tahunan. Wajah cantiknya tampak begitu tenang dan matang. Tarikan wajahnya anggun, khas seorang putrid bangsawan. Tiara kembali terpesona pada wajah puas seorang istri pangeran, wajah seorang yang sangat tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana.

Tiara terpaku di atas tumpukan pakaiannya. Tubuh setengah telanjangnya seperti membeku ketika tatapan mata sang Putri itu seolah terarah kepadanya. Begitu tajam, begitu dingin seperti pedang stakagtit di gua salju. Senyuman yang mengembang, tarikan dagu yang mencuat indah namun begitu penuh kuasa… Putri itu tahu .

Tangan Tiara meraba remote control dan mengganti saluran. Dia tak mau menambah bebannya mala mini. Tubuh rampingnya terseret ke kamar mandi. Alunan musik klasik yang hampir tak pernah didentingkannya di bar, mengalir memasuki kamar mandinya juga.

Setelah mengatur suhu air, Tiara menyalakan lilin-lilin wangi, menebarkan kelopak-kelopak lepas bunga mawar dan meneteskan beberapa tetes minyak ke dalam bak mandinya. Aroma mengembang bersama uap hangat. Sekali lagi diperiksanya suhu air mandinya. Setelah merasa nyaman, dia memasukkan tungkai-tungkai indahnya satu persatu. Kehangatan air itu begitu mempengaruhi suasana hati Tiara. Begitu tubuhnya sudah berada di balik lautan busa harum, dia memejamkan matanya. Sensasi aroma terapi

Membungkusnya nyaman seperti dalam dekapan lembut Sultan.
Tiara memejamkan matanya. Kristal-kristal garam seperti mengusapnya lebut. Dia membiarkan tubuhnya menjadi begitu pasrah dan setengah temnggelam. Wajah keemasannya tersembul di garis permukaan air, sedangkan rambut panjang kelamnya menari-nari di dalamnya.

Sekelebat bayangan hitam, ramping, tinggi dan terbungkus pakaian ketat, menyelinap ke dalam kamar mandinya. Mengendap tak bersuara, seperti kucing. Lelaki muda itu membungkus kepalanya dengan sebuah topi main ski. Terlihat kilatan tajam sepasang matanya dari balik kain wol itu. Sejenak bayangan itu berhenti, menatap wajah eksotis Tiara yang begitu damai tersembul dari lautan busa wangi. Mata Tiara yang terpejam bergerak-gerak seperti sedang bermim dalam tidurnya, sementara bibir ranumnya merekah. Sepasang mata tajam di bawah topi itu menyipit penuh kebencian, kemudian dia berkelebat lagi seperti hantu.

Tangannya yang juga terbungkus sarung tangan hitam, meraih alat pengering rambut dari atas meja marmer. Dinyalakannya alat tersebut. Suara mendesing lembut segera terdengan dari alat itu. Pria muda itu merasa senang karena alunan musik dari CD di kamar tidur, cukup menutup suara alat pengering rambut yang digenggamnya.

Kemudian dia mendap lagi mendekati bak mandi. Dia menarik nafas dalam. Dada bidangnya terlihat naik dan turun. Dia seolah sedang menguatkan hatinya. Sejenak diamatinya pengering rambut dengan kabel terjulur panjang itu. Lalu matanya kembali menyalang.

“Sultan ?” bisik Tiara tanpa membuka matanya. Bibirnya tersenyum seperti puas akan sesuatu yang tadi dinikmatinya dalam mimpinya.

Dengan cepat bayangan hitam itu melemparkan alat pengering rambut yang mendesing lembut di tangannya ke dalam bak air kembang itu.
Tiara tersentak dan membuka matanya. Namun belum sempat dia meloncat dari lautan kembang itu, sengatan listrik telah menariknya ke bawah permukaan air dan menguncinya di sana.

Pria muda itu membuka kedoknya perlahan.

”Kau tak boleh memiliki Papa. Wanita jalang !” desis pemuda taman bermata tajam itu sambil meninggalkan kamar mandi dengan tenang.

Ketika dia melewati sebuah meja tulis kecil antik di dalam kamar itu, di atasnya tergeletak sebuah buku harian indah yang terbuka. Sebuah pena mas Mont Blanc, tergeletak di tengahnya.

1 komentar: