Matahari sudah
cukup tinggi ketika Alea sampai di rumah sakit tempat Andi dirawat. Hampir tiga
hari yang lalu Alea baru saja menjalani operasi pengangkatan sebagian hatinya
untuk dicangkokkan ke hati Andi yang mengalami pengerutan.
Kenapa Alea
nekad memberikan hatinya untuk Andi, laki-laki yang sudah meninggalkannya tanpa
perasaan bertahun yang lalu ? Alea sendiri tidak mengerti kenapa. Yang Alea
tahu, ia hanya ingin memberikan sesuatu yang berarti untuk laki-laki yang
dicintainya itu. Alea tidak perduli pada luka di perasaannya, asalkan Andi bisa
sembuh dan mendapatkan kebahagiaannya. Dan yang Alea tahu, dia tidak pernah
ingin memiliki cinta Andi lagi.
Untuk operasi
ini, Alea menolak diberikan imbalan dalam bentuk apapun. Alea juga sudah membuat perjanjian dengan dokter dan
keluarga Andi untuk tidak memberitahukan siapa orang yang telah mendonorkan
hati untuknya, dengan alasan apapun. Tidak perlu. Biar Alea dan Tuhan yang
mengerti mengapa keputusan ini dibuat. Alea tidak ingin seorangpun menilai apa
yang diperbuatnya untuk merebut perhatian Andi lagi...meskipun rasa cinta itu
hanya dan akan jadi milik Andi seorang.
Alea kini
berdiri mematung di pintu kamar di mana Andi dirawat. Kakinya tak hendak maju
melewati pintu putih itu. Matanya hanya memandang lewat jendela kecil di pintu.
Dilihatnya Andi sedang makan disuapi ibunya. Dia sudah terlihat makin sehat. Ada
rasa yang sulit diterjemahkan merebak di hati Alea menyaksikan pemandangan itu.
Yang jelas, ada lega dan bahagia di sana.
Ditunggunya
dengan sabar hingga ibu Andi selesai menyuapkan sendok nasi terakhir ke mulut
Andi. Memberikannya beberapa teguk minum dan menyuapkan obat. Ketika mata ibu
Andi menengok ke arah pintu, Alea mengangguk cepat dan menghilang dalam sekejap
sebelum wajah Andi menangkap bayangannya di sana.
‘Besok Alea
akan berangkat, Tante. Alea ke sini cuma ingin lihat keadaan Andi sebentar dan
pamit sama Tante. Tolong titip Andi ya Tante ? Jaga dia baik-baik, Kalo Andi
bermasalah lagi dengan hatinya....pasti repot kalo mesti cari-cari Alea lagi.’
seloroh Alea perlahan sambil tersenyum dan memegang lembut tangan Ibu Andi.
‘Alea nggak
mau bilang sendiri sama Andi ?’, tanya Ibu Andi dengan pandangan berharap. Alea
menggeleng pelan, tapi pasti.
‘Terimakasih
Tante. Alea rasa itu gak perlu. Biar Andi mendapatkan kebahagiaan yang baru
sekarang. Itu sudah lebih dari cukup buat Alea. Alea akan selalu berdoa yang
terbaik buat Andi’, ucap Alea sendu.
Ibu Andi
memeluk tubuh Alea lembut. Matanya berkaca-kaca. Dalam benaknya berkecamuk
berbagai tanya yang tak mungkin diucapkannya pada gadis manis belia di
hadapannya ini. Betapa hatinya begitu mulia mau memberikan sebagian nyawanya
untuk Andi, anaknya, yang notabene pernah melukai jiwa Alea. Tapi Alea telihat
tak pernah memikirkan tentang hal itu. Yang diinginkannya hanya Andi sembuh,
bisa hidup normal seperti sedia kala....dan bisa menemukan kebahagiaannya
sendiri.
Alea
memutuskan untuk pergi jauh meninggalkan Indonesia dan tinggal di Canada,
tempat ia akan meneruskan studi S2nya dan kemudian menetap di sana. Alea
memutuskan untuk menjauh dari semua kenangan tentang cerita hidupnya di
Indonesia, termasuk menguburkan ingatan tentang Andi.
Untuk Andi,
Alea sungguh ingin laki-laki terkasih itu mendapatkan kebahagiaan yang
diinginkannya dari hati, tanpa dia harus hadir sebagai pengganggu. Sementara di
belahan dunia lain, Alea hidup sendiri menutup segala pintu untuk takdir hidup
berbagi kasih dengan siapapun, meskipun bila suatu saat, pilihan itu hadir
baginya.
Tak ada lagi
tempat untuk itu dalam hidupnya. Alea telah menutup pintu hatinya bagi cinta.
Bagi Alea, cinta dalam hidupnya hanya Andi, dan Andi sudah lama berlalu,
meninggalkannya. Tak ada lagi kesempatan untuk kembali......
Cinta tak
selalu harus bersama dan memiliki. Dengan segala sisa keyakinannya tentang
kasih, Alea sudah berusaha berbuat sesuatu bahwa cintanya selalu ada untuk Andi
tanpa harus bersanding dengan sosoknya. Sebuah pilihan yang sulit. Tapi itu
membuatnya bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar