Danang telah beranjak dewasa. Sudah
saatnya ia mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat
ini, ia belum juga berhasil. Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu
mempertimbangkan bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat musim panas mulai
bertiup, Danang melakukan perjalanan ke Yogya. Di tengah perjalanan, Danang
memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penginapan yang berada di sekitar
Malioboro. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Danang tak
segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung bersambut, temannya
menyarankan Danang untuk mencoba melamar anak gadis keluarga Prawiro. Menurut
temannya itu, keluarga itu adalah keluarga yang status sosial ekonominya
sederajat dengan Danang. Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar.
Danang senang bukan main. Sebelum berpisah, teman Danang berjanji untuk
mempertemukannya dengan 'Pak Comblang' dari keluarga Prawiro, keesokan paginya.
Pak Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Danang kepada gadis
tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Danang bisa secepatnya
berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan. Kegembiraan yang
meluap-luap memenuhi rongga dada Danang. Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai
sholat istikhoroh. Baru kali ini Danang merasa melakukannya dengan sepenuh
hati, dengan kepasrahan yang murni... Tak terasa
air mata Danang berjatuhan. Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia
baru bisa khusyu' dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada
masalah berat dan serius yang harus ia hadapi? .....
Waktu subuh belum lama berlalu, namun
Danang telah bersiap untuk pergi menemui Pak Comblang. Makin cepat makin
baik, pikirnya... Di bawah
sinar bulan sabit yang kepucatan, Danang bergegas menuju tempat itu. Fajar
belum juga merekah ketika Danang sampai di tempat yang telah dijanjikan. Sepi
sekali... Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Danang benar-benar sendirian.
Di tengah kegamangan hatinya, Danang mencoba mengitari bangunan itu. Seperti
sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca jendela,
membangkitkan rasa ingin tahunya. Danang berjingkat ke arah jendela.
Ditempelkan matanya ke celah-celah...
"Hei, masuklah!
Jangan mengintip seperti itu!" Danang tersentak. Rasa malu, kaget dan
takut berbaur menjadi satu. "Ayo, masuklah. Jangan takut!" Suaranya
lebih lembut namun tetap berwibawa. Danang masih ragu. Tetapi rasa ingin tahu
begitu menguasainya. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah ke dalam.
"Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Danang. Danang memperhatikan
dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya
memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah
ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Danang. Laki-laki itu duduk di atas
permadani sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan : "Belum
saatnya Danang .... Belum saatnya." Danang menatap wajahnya dengan penuh
kebingungan. Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan.
Kali ini laki-laki
itu menatap Danang dengan ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang
ada dalam kandungan ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau
sudah tahu bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan
hidupnya... Hmmmm..... seperti benang sutera.” Laki-laki itu berhenti sejenak
sambil menghela nafas panjangg perlahan. ”Ya, seperti benang sutera yang
diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan
yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul
diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka."
Danang masih diam dalam ketidakmengertiannya sambil menatap erat laki-laki
misterius yang tak pernah dikenalnya sebelum ini. Dilihatnya Laki-laki iu belum
menyelesaikan penjelasannya. "Salah seorang diantara mereka mungkin saja
berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya.
Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang berasal dari
dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya, bila saatnya telah
tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu hal pun yang dapat
mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat. Danang kini sudah
sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi kalimat disimaknya dengan
seksama.
"Jodoh adalah
masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia kehidupan yang tak
akan pernah tuntas untuk dimengerti... Bayangkan...
Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian besar
mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya
tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali
pernikahan." Andri benar-benar tak ingin menyela perkataan laki-laki itu.
"Kalau ada
wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya, ia akan terjatuh. Ia
tak akan mampu melewati bentangan tali sutera yang telah diikatkan pada
mereka.... Ah, kau pasti pernah melihat orang yang patah hati bukan? Hhhhh,
sebagian orang yang bodoh dan tak kuat menahan cobaan, memilih mati daripada
patah hati. Bukan takdir yang memilihnya untuk bunuh diri... Itu pilihannya
sendiri, ia cuma tak sabar menanti saat pertemuan itu datang. Ketahuilah,
Danang...masalah jodoh adalah rahasia Allah... Kau harus dapat berdamai dengan
takdirmu."
"Bagaimana
dengan aku!" sela Danang. "Apakah aku akan berhasil menikah dengan
anak gadis dari keluarga Prawiro? Apakah ia takdirku?" tanyanya tak
sabaran. Laki-laki itu tersenyum. "Belum saatnya Danang... Belum saatnya!
Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis shalihah, cantik dan
pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan
mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang terpelajar. Ia
dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan menjadi anak yang
senantiasa memelihara kedua orang tuanya, meskipun kalian sudah tua renta
nanti... Hal ini tak lepas dari peranan ibunya dalam mendidik anak itu."
Laki-laki itu berhenti sejenak sambil melirik ke arah Danang yang mesih mendengarkan
dengan penuh harap tentang cerita perfodohannya itu.
"Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah
mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun."
"Hah!" Danang kebingungan. "Jadi saya harus membujang selama 10
tahun??!" Danang menatap laki-laki itu tak percaya. Ia berharap semua
hanya kemungkinan karena ia salah dengar saja. Danang mencari kesungguhan di
sana... Tapi semua sia-sia... Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit pun.
Dan Danang menyadari semua adalah kebenaran. "Kalau begitu, di mana dia
sekarang? Dimana saya dapat menemui calon istri saya? Tolonglah?!" Danang
memohon padanya. "Oh,
gadis itu tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi,
wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios
ikan."
Kukuruyukkkkk....!! Suara nyaring ayam jantan
memecah keheningan... Danang tersentak. Kukuruyukkkkk....!! Kokok nyaring ayam
jantan membangunkan Danang dari tidurnya. Ah.. rupa-rupanya ia tertidur di atas
sajadah... Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Danang bersegera mengambil
wudhu... Sehabis sholat subuh, Danang kembali teringat mimpinya. Seolah semua
menjadi teka-teki. Danang belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban
atas sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma
ada satu cara yang bisa dilakukannya : mencari gadis kecil yang katanya calon
istrinya itu! Lalu Danang pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia
berdoa dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit,
bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan ia berjanji
untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang baik. Lebih baik
dari kualitasnya sekarang.
Hari sudah mulai
terang saat Danang tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai... Namun
belum seramai satu jam yang akan datang. Maka Danang lebih leluasa untuk
mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada
sosok kecil di samping kios ikan. Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal.
Rambutnya telah keabu-abuan. Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia
duduk di selembar alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh,
tidak!! Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!" Danang menatap kembali bocah
terlantar yang kurus kering itu. Hatinya
hancur... Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga tidur. Danang kembali ke
penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia kecewa karena calon
istrinya ternyata hanya seorang bocah gelandangan, tapi juga karena 'Pak
Comblang' dari keluarga Prawiro tidak datang pada pertemuan yang ia janjikan.
Tanpa suatu
penjelasan apapun. "Ah... sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula!
Saya adalah seorang yang terpelajar... sudah selayaknya saya mendapatkan seorang
gadis dari keluarga terhormat!" Semakin lama Danang memikirkan hal
tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan. Danang khawatir
hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak bisa tidur semalaman...
Keesokan harinya... Danang pergi ke pasar
bersama dengan pelayan setianya. Danang menjanjikan imbalan yang sangat besar
apabila ia berhasil membunuh bocah kumal itu. Danang dan pelayannya berdiri di
belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Danang menikamkan pisaunya
ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta
yang menggendongnya berteriak-teriak : "Pembunuh! Pembunuh!"
Kegemparan pun segera menyebar ke seluruh penjuru pasar...
Sementara itu,
Danang dan pelayannya telah lenyap, melarikan diri dari tempat kejadian. "Kau berhasil membunuh dia?"
tanya Danang terengah-engah. "Tidak," jawab pelayannya. "Begitu
saya menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa
saya hanya melukai mukanya, dekat alisnya." Danang memutuskan untuk segera
meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh masyarakat
sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota. Karena kecewa dengan
kegagalan pernikahannya, Danang memutuskan untuk berhenti memikirkan
perkawinan.
Tiga tahun kemudian
Danang dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari
keluarga Andhika. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar..
Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik. Semua orang memberi selamat pada
Danang. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Danang
menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan
laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain.
Selama dua tahun
Danang berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua puluh delapan
tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan dari masyarakat yang sekelas
dengannya; seorang gadis kota terpelajar. Maka Danang pergi ke pedesaan, mencari
suasana baru. Di desa, Danang menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku.
Suatu hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman
membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen kentang.
Danang sekonyong-konyong jatuh hati padanya dan segera menemui orang tua gadis
itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Danang bergegas ke
kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala persiapan pernikahan.
Selama beberapa
hari, Danang berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan
berita gembira itu. Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar buruk tentang
sakitnya sang calon. Danang bersedia menunggu sampai ia sembuh. Nanum ternyata
sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah semakin parah. Gadis itu
kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Danang dan
berpesan pada orang tuanya untuk meminta Danang melupakan dia. Ia mohon agar
Danang mencari gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.
Tahun demi tahun
berlalu, sampai akhirnya Danang mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia
cantik dan masih muda, tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan,
khitbah pun segera dilangsungkan. Namun malang tak dapat ditolak... tiga hari
sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari tangga dan mati. Sepertinya nasib
mengolok-olokkan Danang. Danang menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada
wanita, ia hanya bekerja dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor
pemerintahan di Yogya. Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti
memikirkan pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya,
Hakim Sulaiman, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya... hingga mengusulkan
Danang untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat menyakitkan Danang.
"Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya terlalu tua
untuk menikah." Pejabat itu menasehati Danang tentang keburukan membujang.
Lagipula menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Danang menyetujuinya, meskipun
ia sama sekali tidak antusias...
Danang benar-benar
tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya
ternyata masih muda, Danang lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat baik dan
Danang harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik. Taat, sholihat
dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga
menutupi pelipis kanannya. Menurut Danang, dengan tata rambut seperti itu
istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran juga...
Tak kurang dari satu
bulan, Danang telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia bertanya,
"Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda
selalu menyisirnya ke satu arah?" Istri Danang menyibakkan rambutnya dan
berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk ke luka di pelipis kanannya.
"Bagaimana bisa begitu?" tanya Danang lagi. Anjani menjawab,
"Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di
kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun yang sama.
Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang
Selatan Yogya, dekat kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan
apa pun, mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah
punya musuh. Untung ia tidak berhasil membuatku mati, tapi ia meninggalkan luka
di kepala sebelah kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu."
"Apakah ibu
susumu hampir buta?"
"Ya. Kok
tahu?"
"Akulah pencuri
itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh... Semua terjadi begitu
saja, seperti ada yang telah mentakdirkan." Danang kemudian menceritakan
semuanya. Bermula dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun
yang lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh
tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal
bersama keluarganya di Shiang-Chow.
Akhirnya Danang dan
Anjani menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah
digariskan Allah Ta'ala. Danang menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada
kesombongannya untuk menentang takdir dan pada saat itulah, Danang menyerahkan
segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia
malah mengingkarinya ? Saat itu juga, Danang melakukan sholat taubat. Untuk
menjadi mukmin yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh
subur...
Setahun kemudian
lahirlah anak laki-laki yang mereka beri nama Banyu Biru. Anjani mendidiknya
dengan sangat baik. Setelah
dewasa, Banyu Biru menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang
perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal akan kedermawanannya. Ketika Banyu
menjadi orang terkemuka di kota itu, Danang telah lanjut usia. Banyu dan Anjani
tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka pertama kali bertemu,
empat belas tahun sebelum pernikahan, Banyu Biru membangun tempat
peristirahatan untuknya.
"Dan segala
sesuatu kami jadikan berjodoh-jodohan, agar sekalian kamu berpikir." (QS
51 : 49).
"Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar