Selasa, 06 November 2012

Soulmate untuk Danang



Danang telah beranjak dewasa. Sudah saatnya ia mencari gadis yang baik untuk dijadikan istri. Tapi sampai saat ini, ia belum juga berhasil. Bukan suatu hal yang aneh. Ia memang terlalu mempertimbangkan bibit-bebet-bobot calon istrinya. Maka, saat musim panas mulai bertiup, Danang melakukan perjalanan ke Yogya. Di tengah perjalanan, Danang memutuskan untuk beristirahat di sebuah rumah penginapan yang berada di sekitar Malioboro. Kebetulan ia bertemu dengan teman sekolahnya dulu. Maka Danang tak segan untuk menceritakan maksud perjalanannya itu. Seperti gayung bersambut, temannya menyarankan Danang untuk mencoba melamar anak gadis keluarga Prawiro. Menurut temannya itu, keluarga itu adalah keluarga yang status sosial ekonominya sederajat dengan Danang. Lagipula, gadis itu sangat cantik dan terpelajar.
Danang senang bukan main. Sebelum berpisah, teman Danang berjanji untuk mempertemukannya dengan 'Pak Comblang' dari keluarga Prawiro, keesokan paginya. Pak Comblang inilah yang akan meneruskan data pribadi Danang kepada gadis tersebut. Bila keluarga itu berkenan menerimanya, maka Danang bisa secepatnya berkenalan, sebelum lamaran resmi atau khitbah diajukan. Kegembiraan yang meluap-luap memenuhi rongga dada Danang. Dibentangkannya sajadah, lalu ia mulai sholat istikhoroh. Baru kali ini Danang merasa melakukannya dengan sepenuh hati, dengan kepasrahan yang murni...  Tak terasa air mata Danang berjatuhan. Diam-diam menyelinap suatu penyesalan. Mengapa ia baru bisa khusyu' dan dapat merasakan ikatan yang erat dengan Allah, ketika ada masalah berat dan serius yang harus ia hadapi? .....
Waktu subuh belum lama berlalu, namun Danang telah bersiap untuk pergi menemui Pak Comblang. Makin cepat makin baik, pikirnya... Di bawah sinar bulan sabit yang kepucatan, Danang bergegas menuju tempat itu. Fajar belum juga merekah ketika Danang sampai di tempat yang telah dijanjikan. Sepi sekali... Nyanyian jangkrik perlahan menghilang. Danang benar-benar sendirian. Di tengah kegamangan hatinya, Danang mencoba mengitari bangunan itu. Seperti sebuah musholla kecil. Cahaya lilin yang memantul di sela-sela kaca jendela, membangkitkan rasa ingin tahunya. Danang berjingkat ke arah jendela. Ditempelkan matanya ke celah-celah...
"Hei, masuklah! Jangan mengintip seperti itu!" Danang tersentak. Rasa malu, kaget dan takut berbaur menjadi satu. "Ayo, masuklah. Jangan takut!" Suaranya lebih lembut namun tetap berwibawa. Danang masih ragu. Tetapi rasa ingin tahu begitu menguasainya. Akhirnya ia memberanikan diri melangkah ke dalam. "Kemarilah!" ajaknya tanpa melihat muka Danang. Danang memperhatikan dengan penuh seksama. Laki-laki itu belum terlalu tua, tapi wajahnya memancarkan kebaikan yang seolah-olah bersumber dari seluruh aliran darahnya. Bijak, arif, lembut namun tegas. Tentulah ia pengemban amanah yang luar biasa, pikir Danang. Laki-laki itu duduk di atas permadani sambil membaca sebuah buku. Lalu ia berkata perlahan : "Belum saatnya Danang .... Belum saatnya." Danang menatap wajahnya dengan penuh kebingungan. Lalu laki-laki itu kembali melanjutkan.
Kali ini laki-laki itu menatap Danang dengan ketajaman jiwa. "Kau tahu? Semenjak seseorang ada dalam kandungan ibunya, Allah Ta'ala telah menetapkan 3 hal untuknya. Kau sudah tahu bukan! Salah satu di antaranya adalah jodohnya.. pasangan hidupnya... Hmmmm..... seperti benang sutera.” Laki-laki itu berhenti sejenak sambil menghela nafas panjangg perlahan. ”Ya, seperti benang sutera yang diikatkan di antara mereka berdua. Kepada kaki laki-laki atau bayi perempuan yang lahir dan ditakdirkan berjodohan satu dengan yang lainnya. Begitu simpul diikatkan, maka tak ada suatu hal pun yang dapat memisahkan mereka." Danang masih diam dalam ketidakmengertiannya sambil menatap erat laki-laki misterius yang tak pernah dikenalnya sebelum ini. Dilihatnya Laki-laki iu belum menyelesaikan penjelasannya. "Salah seorang diantara mereka mungkin saja berasal dari keluarga yang miskin, sedang yang lainnya dari keluarga yang kaya. Atau mereka terpisah bermil-mil jaraknya, bahkan mungkin ada yang berasal dari dua keluarga yang saling bermusuhan. Tapi pada akhirnya, bila saatnya telah tiba, mereka akan menjadi suami istri. Tak ada suatu hal pun yang dapat mengubah takdir itu." Laki-laki itu terdiam sesaat. Danang kini sudah sepenuhnya duduk terpekur di hadapannya. Kalimat demi kalimat disimaknya dengan seksama.
"Jodoh adalah masalah yang paling ajaib dan paling gaib. Suatu rahasia kehidupan yang tak akan pernah tuntas untuk dimengerti... Bayangkan... Dua anak yang berbeda, tumbuh di lingkungannya masing-masing. Sebagian besar mungkin tidak menyadari kehadiran satu dengan lainnya. Tapi bila saatnya tiba, mereka akan bertemu dan mengekalkan ikatannya dalam tali pernikahan." Andri benar-benar tak ingin menyela perkataan laki-laki itu.  
"Kalau ada wanita atau laki-laki lain yang muncul di antara keduanya, ia akan terjatuh. Ia tak akan mampu melewati bentangan tali sutera yang telah diikatkan pada mereka.... Ah, kau pasti pernah melihat orang yang patah hati bukan? Hhhhh, sebagian orang yang bodoh dan tak kuat menahan cobaan, memilih mati daripada patah hati. Bukan takdir yang memilihnya untuk bunuh diri... Itu pilihannya sendiri, ia cuma tak sabar menanti saat pertemuan itu datang. Ketahuilah, Danang...masalah jodoh adalah rahasia Allah... Kau harus dapat berdamai dengan takdirmu."
"Bagaimana dengan aku!" sela Danang. "Apakah aku akan berhasil menikah dengan anak gadis dari keluarga Prawiro? Apakah ia takdirku?" tanyanya tak sabaran. Laki-laki itu tersenyum. "Belum saatnya Danang... Belum saatnya! Suatu saat nanti, kau akan menikah dengan seorang gadis shalihah, cantik dan pintar. Pun dari keluarga yang terhormat. Kelak, setelah menikah, kalian akan mempunyai anak laki-laki. Dan anakmu akan menjadi pedagang yang terpelajar. Ia dermakan kekayaannya untuk agama Allah. la juga akan menjadi anak yang senantiasa memelihara kedua orang tuanya, meskipun kalian sudah tua renta nanti... Hal ini tak lepas dari peranan ibunya dalam mendidik anak itu." Laki-laki itu berhenti sejenak sambil melirik ke arah Danang yang mesih mendengarkan dengan penuh harap tentang cerita perfodohannya itu.
 "Tapi itu nanti. Bila calon istrimu telah mencapai usia 17 tahun. Sayangnya, saat ini dia masih berumur 7 tahun." "Hah!" Danang kebingungan. "Jadi saya harus membujang selama 10 tahun??!" Danang menatap laki-laki itu tak percaya. Ia berharap semua hanya kemungkinan karena ia salah dengar saja. Danang mencari kesungguhan di sana... Tapi semua sia-sia... Air muka laki-laki itu tak berubah sedikit pun. Dan Danang menyadari semua adalah kebenaran. "Kalau begitu, di mana dia sekarang? Dimana saya dapat menemui calon istri saya? Tolonglah?!" Danang memohon padanya. "Oh, gadis itu tinggal dengan wanita penjual sayur. Tak jauh dari sini. Setiap pagi, wanita itu datang ke pasar dan menjajakan sayurannya di sebelah kios ikan."
Kukuruyukkkkk....!! Suara nyaring ayam jantan memecah keheningan... Danang tersentak. Kukuruyukkkkk....!! Kokok nyaring ayam jantan membangunkan Danang dari tidurnya. Ah.. rupa-rupanya ia tertidur di atas sajadah... Alhamdulillah, waktu subuh belum habis. Danang bersegera mengambil wudhu... Sehabis sholat subuh, Danang kembali teringat mimpinya. Seolah semua menjadi teka-teki. Danang belum tahu apakah harus menganggapnya sebagai jawaban atas sholat istikhorohnya atau tidak. Untuk mcnyingkap tabir mimpi itu, cuma ada satu cara yang bisa dilakukannya : mencari gadis kecil yang katanya calon istrinya itu! Lalu Danang pun bergegas ke pasar terdekat. Sepanjang jalan ia berdoa dan berjanji. Berdoa agar calon istrinya memang benar-benar baik bibit, bebet dan bobotnya. Sebagaimana telah diisyaratkan dalam mimpi. Dan ia berjanji untuk menerima takdirnya dan berusaha menjadi muslim yang baik. Lebih baik dari kualitasnya sekarang.
Hari sudah mulai terang saat Danang tiba di sana. Orang-orang mulai melakukan kegiatannya. Pembeli mulai berdatangan. Ramai... Namun belum seramai satu jam yang akan datang. Maka Danang lebih leluasa untuk mengamati sekitarnya. Matanya berkeliling mengitari pasar, lalu tertumbuk pada sosok kecil di samping kios ikan. Wanita itu tua, kotor, lusuh. Kumal. Rambutnya telah keabu-abuan. Dengan sebelah mata tertutup lapisan katarak, ia duduk di selembar alas sambil menggendong bocah kecil di dadanya. "Oh, tidak!! Bagaimana mungkin?! Ini pasti kekeliruan!" Danang menatap kembali bocah terlantar yang kurus kering itu. Hatinya hancur... Ah, mimpi semalam benar-benar hanya bunga tidur. Danang kembali ke penginapannya dengan hati lesu. Kali ini bukan saja ia kecewa karena calon istrinya ternyata hanya seorang bocah gelandangan, tapi juga karena 'Pak Comblang' dari keluarga Prawiro tidak datang pada pertemuan yang ia janjikan.
Tanpa suatu penjelasan apapun. "Ah... sudah jatuh dari tangga, tertimpa genteng pula! Saya adalah seorang yang terpelajar... sudah selayaknya saya mendapatkan seorang gadis dari keluarga terhormat!" Semakin lama Danang memikirkan hal tersebut, semakin jijik ia membayangkan kemungkinan menikahi bocah kumal itu. Benar-benar menggelikan. Danang khawatir hal tersebut benar-benar akan terjadi. Dan ia tidak bisa tidur semalaman...
Keesokan harinya... Danang pergi ke pasar bersama dengan pelayan setianya. Danang menjanjikan imbalan yang sangat besar apabila ia berhasil membunuh bocah kumal itu. Danang dan pelayannya berdiri di belakang pembeli. Begitu kesempatan datang, pelayan Danang menikamkan pisaunya ke arah si anak, lalu mereka kabur. Bocah kecil itu menangis dan wanita buta yang menggendongnya berteriak-teriak : "Pembunuh! Pembunuh!" Kegemparan pun segera menyebar ke seluruh penjuru pasar...
Sementara itu, Danang dan pelayannya telah lenyap, melarikan diri dari tempat kejadian. "Kau berhasil membunuh dia?" tanya Danang terengah-engah. "Tidak," jawab pelayannya. "Begitu saya menghunjamkan pisau ke arahnya, anak itu berbalik secara tiba-tiba. Saya rasa saya hanya melukai mukanya, dekat alisnya." Danang memutuskan untuk segera meninggalkan penginapan. Kejadian itu dengan segera terlupakan oleh masyarakat sekitar. Ia kemudian pergi ke arah Barat menuju ibukota. Karena kecewa dengan kegagalan pernikahannya, Danang memutuskan untuk berhenti memikirkan perkawinan.
Tiga tahun kemudian Danang dijodohkan dengan gadis yang mempunyai reputasi baik yang berasal dari keluarga Andhika. Sebuah keluarga yang cukup terkenal di masyarakat sekitar.. Anak gadisnya terpelajar dan sangat cantik. Semua orang memberi selamat pada Danang. Persiapan pernikahan tengah dilangsungkan, ketika suatu pagi Danang menerima berita yang menyakitkan. Calon istrinya melarikan diri dengan laki-laki yang dicintainya. Mereka berdua telah menikah di kota lain.
Selama dua tahun Danang berhenti memikirkan pernikahan. Saat itu ia berusia dua puluh delapan tahun. Ia berubah pikiran tentang mencari pasangan dari masyarakat yang sekelas dengannya; seorang gadis kota terpelajar. Maka Danang pergi ke pedesaan, mencari suasana baru. Di desa, Danang menghabiskan waktu dengan mempelajari buku-buku. Suatu hari ia membawa bukunya ke sungai di dekat ladang, agar lebih nyaman membacanya. Tanpa sengaja ia melihat gadis desa yang sedang memanen kentang. Danang sekonyong-konyong jatuh hati padanya dan segera menemui orang tua gadis itu. Gayung bersambut, gadis itu menerima lamarannya. Maka Danang bergegas ke kota untuk membeli perhiasan dan baju sutera serta segala persiapan pernikahan.
Selama beberapa hari, Danang berkeliling mengunjungi saudara-saudaranya untuk mengabarkan berita gembira itu. Seminggu kemudian ia kembali ke desa. Tapi yang ditemuinya hanya kabar buruk tentang sakitnya sang calon. Danang bersedia menunggu sampai ia sembuh. Nanum ternyata sampai setahun hampir berlalu, penyakit calon istrinya malah semakin parah. Gadis itu kehilangan seluruh rambutnya dan menjadi buta. Ia menolak menikahi Danang dan berpesan pada orang tuanya untuk meminta Danang melupakan dia. Ia mohon agar Danang mencari gadis lain yang layak untuk dijadikan istri.
Tahun demi tahun berlalu, sampai akhirnya Danang mendapatkan calon yang sempurna. Bukan saja ia cantik dan masih muda, tapi juga pencinta buku dan seni. Tak ada rintangan, khitbah pun segera dilangsungkan. Namun malang tak dapat ditolak... tiga hari sebelum pernikahan, gadis itu terjatuh dari tangga dan mati. Sepertinya nasib mengolok-olokkan Danang. Danang menjadi fatalis. Ia tidak lagi peduli pada wanita, ia hanya bekerja dan bekerja. Sekarang ia bekerja di kantor pemerintahan di Yogya. Mengabdikan diri pada tugas dan sama sekali berhenti memikirkan pernikahan. Tapi ia bekerja dengan sangat baik, sehingga atasannya, Hakim Sulaiman, terkesan pada dedikasi dan kesungguhannya... hingga mengusulkan Danang untuk menikahi keponakannya. Pembicaraan itu sangat menyakitkan Danang. "Mengapa Tuan mau menikahkan keponakan Tuan pada saya! Saya terlalu tua untuk menikah." Pejabat itu menasehati Danang tentang keburukan membujang. Lagipula menikah adalah sunnah Rasulullah. Maka Danang menyetujuinya, meskipun ia sama sekali tidak antusias...
Danang benar-benar tidak melihat istrinya sampai pernikahan benar-benar selesai dilangsungkan. Istrinya ternyata masih muda, Danang lega melihatnya. Tingkah lakunya sangat baik dan Danang harus mengakui bahwa ia adalah istri yang sangat baik. Taat, sholihat dan selalu menyenangkan. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Bila di rumah, istrinya selalu menata rambut dengan cara yang khas, sehingga menutupi pelipis kanannya. Menurut Danang, dengan tata rambut seperti itu istrinya kelihatan sangat cantik, tetapi ia agak heran juga...
Tak kurang dari satu bulan, Danang telah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Suatu saat ia bertanya, "Mengapa dinda tidak mengganti gaya rambut sekali-kali? Maksudku, mengapa dinda selalu menyisirnya ke satu arah?" Istri Danang menyibakkan rambutnya dan berkata, "Lihatlah!" Ia menunjuk ke luka di pelipis kanannya. "Bagaimana bisa begitu?" tanya Danang lagi. Anjani menjawab, "Aku mendapatkannya saat berumur tujuh tahun. Ayahku meninggal di kantornya, sedangkan ibu dan abangku meninggal dunia pada tahun yang sama. Kemudian aku dirawat oleh ibu susuku. Kami mempunyai rumah di dekat Gerbang Selatan Yogya, dekat kantor ayahku. Suatu hari, seorang pencuri tanpa alasan apa pun, mencoba membunuhku. Kami sama sekali tidak mengerti, kami tidak pernah punya musuh. Untung ia tidak berhasil membuatku mati, tapi ia meninggalkan luka di kepala sebelah kananku. Karena itulah aku selalu menutupinya darimu."
"Apakah ibu susumu hampir buta?"
"Ya. Kok tahu?"
"Akulah pencuri itu. Ah, tapi bagaimana mungkin! Semua begitu aneh... Semua terjadi begitu saja, seperti ada yang telah mentakdirkan." Danang kemudian menceritakan semuanya. Bermula dari mimpinya setelah ia sholat istikhoroh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istrinya juga bercerita, ketika ia berusia sembilan atau sepuluh tahun, pamannya menemukan ia di Sung-Cheng dan mengambilnya untuk tinggal bersama keluarganya di Shiang-Chow.
Akhirnya Danang dan Anjani menyadari bahwa pernikahan mereka adalah sebuah takdir yang telah digariskan Allah Ta'ala. Danang menangis. Ia malu pada Penciptanya. Malu pada kesombongannya untuk menentang takdir dan pada saat itulah, Danang menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Tapi kenapa ketika ia mendapatkan petunjuk, ia malah mengingkarinya ? Saat itu juga, Danang melakukan sholat taubat. Untuk menjadi mukmin yang baik. Begitulah, kasih sayang di antara mereka kian tumbuh subur...
Setahun kemudian lahirlah anak laki-laki yang mereka beri nama Banyu Biru. Anjani mendidiknya dengan sangat baik. Setelah dewasa, Banyu Biru menjadi seorang yang terpelajar. Usahanya di bidang perdagangan maju pesat. Ia sangat penyantun dan terkenal akan kedermawanannya. Ketika Banyu menjadi orang terkemuka di kota itu, Danang telah lanjut usia. Banyu dan Anjani tetap setia memelihara dan mencintainya. Di tempat mereka pertama kali bertemu, empat belas tahun sebelum pernikahan, Banyu Biru membangun tempat peristirahatan untuknya.
"Dan segala sesuatu kami jadikan berjodoh-jodohan, agar sekalian kamu berpikir." (QS 51 : 49).
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar