“Dari Prima ?” Tanya Ibu, seolah sambil
lalu padahal di telinga Nayla, suara Ibu terdengar sangat antusias.
“Iya Bu.”
“Di mana dia
sekarang ?”
”Masih di
Kualalumpur.” Nayla pura-pura mengalihkan pandangan matanya ke televisi. Tapi
nampaknya Ibu belum ingin berhenti membahas masalah ini.
”Kapan
pulang ?”
”Lho....memangnya
tadi kalian bicara apa saja ?”
Dalam hati Nayla membatin. Ibu mirip
wartawan. Selalu bisa memancing dengan pertanyaan yang tepat dan tidak pernah
puas dengan jawaban singkat.
“Ya ngobrol
biasa saja. Tentang pekerjaan Prima, pekerjaan Nayla..”
”Apa Prima
tidak ingin pulang ?”
”Tidak tahu,
Bu.”
”Lain kali
kalau telepon lagi, tanya. Kapan kamu pulang Prim? Begitu.”
Nayla
terdiam. Bertanya pada Prima kapan dia pulang ? Untuk apa ? Matanya kembali ke
televisi, meski pikirannya entah ke mana.
”Nay...”
”Ya, Bu.”
”Kamu tidak
suka sama Prima ?”
”Mmmmm.....”
”Kok lama
mikirnya.”
”Biasa saja,
Bu Kami belum lama kenal. Ketemu juga
baru beberapa kali. Seringnya telepon saja,” kata Nayla pelan.
”Ibu lihat,
Prima laki-laki yang baik. Sopan dan penuh perhatian. Kapan itu dia mengirim
bunga padamu, kan ? Waktu kamu mendapat promosi jabatan di kantor ?”
Nayla hanya
mengangguk, enggan.
”Nay.... Ibu
ajak bicara kok diam saja,” tegur Ibu.
”Iya,
Bu. Tadi Nay juga sudah mengangguk.
Prima memang pernah kirim bunga waktu itu. Semua orang jadi meledek Nay. Bikin
heboh saja.”
”Lho, malah
bagus kan, jadi sekarang semua orang tahu kalau kamu sudah laku,
Nay...hehehe..,” ibu Nayla tertawa kecil.
Nayla diam
saja. Kapan ibu akan berhenti ?
”Seharusnya
kamu bersyukur, Nay. Menurut Ibu Prima itu baik hati lho. Jarang ada laki-laki seperti itu, apalagi
jaman sekarang. Sudah baik hati, tampan, pintar, puny pekerjaan mapan. Wah,
semua gadis pasti mengidamkan laki-laki seperti itu untuk jadi suaminya.”
Idaman siapa
? Lagi-lagi Nayla berbisik dalam hati. Ada sesuatu yang seolah mencubit hatinya.
Pelan tapi perih.
Sejak bercerai tiga tahun lalu , Nayla
memang jadi lebih pendiam. Ia berubah. Ia memang tidak terlalu menyendiri,
karena teman-temannya cukup banyak. Kebiasaan nonton bioskop sepulang kerja
masih sering ia lakukan ramai-ramai bersama mereka. Akhir pekan pun sering ia
habiskan dengan berjalan-jalan, mellihat kota lain, atau sesekali ke luar
negeri. Berlibur rutin setahun dua kali. Sejak hidup sendiri, Nayla lebih
leluasa mengeluarkan uang untuk menghibur diri. Dan hasilnya tampak pada
kepribadiannya. Ia menjadi lebih percaya diri, berani tampil, dan mulai lebih
memikirkan untuk berdandan. Tapi, di sisi lain, ia jadi lebih pendiam. Jika
tidak perlu, jarang sekali bercengkrama. Ia tetap teman yang baik, yang mau
memberi pendapat bila ditanya Namun ia seperti kehilangan antusiasme bicara.
Sejak
berpisah dari Dito, Nayla memilih tenggelam dalam pekerjaan. Hasilnya ?
Kariernya pun melesat, melebihi teman-teman yang masuk ke kantor itu bersamaan
dengannya.
”Tentu saja,
dia bisa cepat dapat promosi, dia kan tidak perlu memikirkan yang lain-lain,”
Sita menanggapi sinis ketika Nayla mendapat promosi jabatan.
”Ah, Nayla memang pintar kok,” bela Dina.
“Dulu pun Nay selalu menjadi yang terbaik kalau ikut pelatihan. Ingat tidak ?”
”Iya, maksud Sita, Nay tidak perlu
repot-repot berpikir soal suami, apalagi soal anak. Dia hanya perlu
memikirkan dirinya sendiri. Semua dia putuskan sendiri,” timpal Mita.
”Betul itu,
karena semua waktu dia habiskan sendiri, dia bisa melulu berpikir soal karier.
Jadi cepat naik kan ?” kata Sita.
”Tapi apa
kamu pikir Nay bahagia hidup sendiri ? Pulang
kerja tidak ada yang menyambut, tidak ada yang bertanya tentang harinya ?” Dina
bertanya sambil melirik ke arah ruangan Nayla. “Kalian pikir, enak hidup begitu
?”
“Ya…kalau
aku sih, memilih hidup begini saja deh. Tidak
perlu jabatan tinggi, tapi aku punya suami yang sayang sama aku, dan ada
anak-anak yang bisa dijadikan hiburan,” kata Mita sammbil tertawa kecil.
”Ah, memang
kamunya saja yang kurang semangat kerja,” sergah Sita.
”Memangnya
kamu suka punya jabatan tinggi tapi hidup sendiri ?” tanya Dina pada Sita.
”Tidak juga
sih. Makanya aku bilang Nay curang, dia bisa konsentrasi berkariertanpa harus
memikirkan urusan rumah tangga kan ?”
”Itu bukan
curang, itu nasib,” imbuh Mita. ”Nasib malang....”
Kata-kata
Mita terputus karena obyek pembicaraan mereka tuba-tiba keluar dari ruangannya.
Nayla tersenyum sekilas sebelum berkata, ”Saya minta report dari meeting
kemarin ya. Nanti saja, habis makan siang. Kalian mau makan di mana ? Boleh
saya ikut ?”
Nayla
bukannya tidak tahu bahwa ia sering jadi bahan pembicaraan di kantor. Bahkan
oleh teman-temannya sendiri yang sekarang menjadi anak buahnya. Usia 30 tahun,
cantik, pintar, jabatan tinggi, janda. Siapa yang tidak tergoda membicarakan ?
Nayla
mengenal Prima dari Tante Frida, teman ibunya. Meski agak jengah karena
jelas-jelas dijodohkan, Nayla tidak sampai hati menolak ketika ibu memaksa ia
berkenalan dengan Prima. Jadilah mereka bertemu di sebuah pengajian, di rulah
Tante Frida yang juga tantenya Prima. Perkenalan yang singkat. Tapi nampaknya
membekas di hati Prima. Sejak itu, tak sehari pun dilewatkan Nayla tanpa
menerima pesan pendek dari laki-laki itu. Meski tinggal di Kualalumpur, Prima
tak segan menelpon Nayla. Minimal seminggu sekali.
”Kalau
telpon begini apa tidak mahal ?” tanya Nayla suatu hari.
”Biarpun
mahal, kalau ada gunanya kan tidak
apa-apa,” terdengar tawa kecil Prima di seberang sana.
”Hmmm...memang ada gunanya ?” goda Nayla.
“ya ada.
Menelpon perempuan secantik kamu pasti ada manfaatnya,’ Prima terbahak.
Nayla
terdiam. Ia selalu risih kalau Prima memujinya. Sambil bercanda sekalipun.
Hanya kesopanan yang membuatnya tetap menerima telpon Prima dan berusaha
berbincang akrab. Paling tidak seminggu sekali, ia mendengar suara Prima yang
meski ramah tapi tak bisa menggugah hatinya.
”Malam ini
kamu ada acara ?” Suara Prima terdengar ceria, seperti biasa, minggu lalu.
”Tidak, aku
langsung pulang,” jawab Nayla datar.
”Masih sering lembur ?”
”Ya...tidak setiap hari, kok.”
“Jangan
terlalu capek. Hati-hati kalau pulang malam.”
”Terima kasih.”
Percakapan
terhenti beberapa saat. Jeda yang terjadi terasa sangat lama, apalagi bagi
Nayla yang sebenarnya ingin sambungan telepon internasional itu segera
berakhir.
”Prim ?”
akhirnya suara Nayla memecah kebisuan.
”Ya ?”
”Kalau diam-diaman begini, sayang
pulsanya.’
“Hahahaha….kamu bisa saja,” tawa Prima
terdengar riang. ”Terus terang, aku bingung,” tambahnya.
“Bingung ?”
“Iya, aku bingung mau ngomong apa.”
“Kok bingung.”
“Habis yang terbayang di kepalaku wajah
cantik kamu saja. Lidahku jadi kelu.” Nayla terbayang Prima mengucapkannya
dengan tersenyum. “Aku kangen ngobrol langsung.”
“Ya kalau begitu pulang saja,’ tutur
Nayla spontan. Ia lalu teringat kata ibunya, yang masih rajin menanyakan
kapan Prima pulang.
”Ke Jakarta
? Kamu mau aku ke Jakarta ?” suara Prima tiba-tiba terdengar bersemangat
sekali.
”Hmm...ya
kalau kamu mau.”
”Kamu serius
Nay ? Kamu sungguh-sungguh ingin aku ke Jakarta ? Pulang begitu ?”
”Tadi
katanya kangen,” Nayla salah tingkah.
”Bukan...maksudku
kamu betul-betul ingin aku menemui kamu ?”
”Ya, kalau
kamu mau...”
”Nay, tahu
tidak...aku senang sekali kalau kamu ingin aku ke Jakarta. Kupikir, tadinya, aku bertepuk sebelah
tangan,” suara Prima terdengar makin gembira.
“Hmmmm….”
Nayla kehilangan kata. “memangnya kamu tidak kangen bertemu orangtua juga ?”
”Yaaaaah...kangen
tentu saja. Tapi kan beda. Begini deh. Begitu aku bisa membereskan pekerjaanku,
aku akan ke Jakarta, Nay. Bahkan jika pun hanya bisa sebentar. Yang penting
ketemu kamu. Makan siang berdua saja atau makan malam bareng, sudah cukup.”
”Ya...”
”Nay, aku
senang sekali. Betul ini. Aku bahagia karena kamu ingin aku ke Jakarta. Rasanya
jadi tidak sabar ingin segera mencari tanggal.”
Nayla diam
saja. Jeda lagi.
”Prim, aku
boleh siap-siap pulang ya ? Di sana juga tentu sudah malam, kan ? Kamu nggak
pulang ?” Akhirnya Nayla tidak punya pilihan kata lain.
”Iya...iya...boleh.
Sudah dulu ya. Hati-hati di jalan. Nanti sms aku kalau sudah sampai rumah ya.
Jadi aku tahu kamu baik-baik saja.”
Nayla bisa
membayangkan senyum Prima. ”ya, Prim. Terima kasih ya.”
”Aku yang
harus bilang terima kasih. Hati-hati ya Sayang.:
Nayla
tercekat sesaat sebelum berucap, ”Bye Prim.”
Sayang ?
Sayang siapa ? Dia ?
Rangkaian
bunga mawar merah muda menyambutnya ketika masuk ke ruangan pagi hari itu,
”Cannot wait to see you real soon’ adalah kata-kata yang tertera di kartunya.
Bunga itu dikirim melalui jasa pengiriman online, yang membuat Nayla sadar
bahwa Prima yang mengirimnya. Segera
ia kirim sms.
”Thank you for the flower.”
”You are most welcome. I hope you like
it. See, the world is only one click away. Bahkan mau mengirim kado pun tak
perlu bersusah-susah ke took sendiri.’ Balasan sms dari Prima secepat kedipan
mata.
“Terima
kasih.” Nayla mengetikkan kata itu karena tidak tahu lagi hendak mengatakan
apa.
”Ya. Sampai
ketemu lusa ya.” Jawaban Prima seketika membuat Nayla merinding. Lusa Prima mau
ke Jakarta ? Untuk apa ?
”Mau
konferensi di Jakarta ?”
”Nope, I want to see you.” Saat itu
juga Nayla merasa perutnya sakit.
Nayla juga
tak paham mengapa Prima tak bisa melumerkan kebekuan hatinya. Kebaikan hati dan perhatian Prima yang
besar tak juga membuat Nayla tergerak untuk membalas dengan cinta yang sepadan.
Rasa sakit ditinggalkan Dito seperti masih menusuk-nusuk hati, jika Nayla
memikirkan hubungannya dengan Prima atau lelaki manapun. Trauma ? Mungkin saja.
Sebetulnya Nayla lebih memilih hidup sendiri saja, karena dibayangi ketakutan
akan disakiti lagi. Tak ada yang menghalanginya melajang seumur hidup, apalagi
secara finansial ia tak punya masalah. Hanya ada satu yang mengganjal, yaitu
ibunya. Ibu tak henti menjejalkan ide bahwa menikah kembali akan membuat Nayla
menjadi lebih bahagia. Menikah lagi dan memiliki anak, seolah menjadi kewajiban
yang harus dipenuhi Nayla untuk membahagiakan ibunya.
”Ibu sudah
tua, sudah pengen sekali menggendong cucu.” Ibu selalu menutup pembicaraan
tentang masa depan Nayla dengan kalimat itu.
Ibu juga yang membuat Nayla tak jujur
pada Prima tentang perasaannya. Bahwa ia belum bisa, atau tak bisa, mencintai
Prima. Bukan hanya karena ia tahu Prima akan patah hati, ia tak sampai hati
menghancurkan hati ibunya yang sangat berharap , suatu hari, laki-laki baik
hati itu mennjadi menantunya.
Hari ini
Prima dating. Nayla tidak akan lupa bahwa hari ini Prima akan terbang ke
Jakarta.
”Aku meeting hingga siang di daerah
Sudirman. Sorenya, aku jemput kamu. Lalu kita makan malam bersama. Nanti pulangnya
tentu aku antar,” kata Prima kemarin. ”Tolong kamu pilih restoran mana yang
agak bagus, Yang romantis, gitu...” lanjutnya. ”Terserah kamu di daerah mana,
yang penting kamu suka.”
”Ya Prim, sampai besok. Hati-hati.
Selamat jalan ya,” hanya itu yang bisa diucapkan Nayla. Prima akan mengantar
Nayla pulang, bertemu ibu. Pasti ibu akan senang.
Di telepon, Prima terdengar sangat
bersemangat dengan rencana-rencana mengisi akhir pekan bersama Nayla. Ke
pantai, berenang, makan seafood, main banana boat…dan seterusnya. Semua
kegiatan yang sesungguhnya juga disukai Nayla, tapi saat ini memikirkannya saja
sudah membuat hatinya galau. Kalau boleh memilih, ia tak ingin Prima ada. Tapi, apa
bisa ?
Nayla
menghela nafas. Akhirnya ia berkeputusan, malam nanti jujur mengatakan pada
Prima tentang yang ia rasakan selama ini. Hatinya perih membayangkan akan
menyakiti perasaan seseorang yang sangat baik hati. Tapi aku juga harus jujur
pada diriku sendiri, pikir Nayla. Tak adil membiarkan Prima menunggu cintanya
entah sampai kapan. Nayla keluar dari kamar. Di ruang keluarga, ia melihat
ibunya sedang terpaku di depan televisi.
”Ada berita
apa Bu ? Serius sekali,” sapa Nayla sambil mengambil roti untuk sarapan.
”Itu lho,
Ndhuk, ada kecelakaan pesawat pagi ini. Wah pasti banyak orang Indonesia yang
jadi korban, wong pesawatnya mau ke Jakarta,’ mata ibu tak lepas dari televisi.
”Memangnya
pesawat itu dari mana ?” Nayla ikut melihat ke telenisi. Nampaknya seorang
jurnalis televisi sedang berada di sana hingga bisa merekam seluruh kejadian dengan
lengkap. Sebuah pesawat
terlihat mendarat miring, lambungnya menghitam. Asap mengepul. Terlihat hiruk
pikik orang mondar mandir menggotng korabn. Ada wajah-wajah ketakutan. Ada yang menangis. Ada yang berteriak-teriak. Suasananya kacau.
Satu dentuman hebat terdengar. Asap hitam membubumbung ke angkasa. Keadaan
mencekam sekali. Ketika kamera televisi menyorot ke arah ekor pesawat yang sepertinya
terlempar jauh, nampak logo maskapai penerbangan ternama dari Malaysia terpampang di sana. Sesuatu seperti lolos dari perasaan
Nayla. Itu maskapai penerbangan yang dipakai Prima. Apakah Prima ada di
dalamnya ? Nayla seketika merasa hatinya gundah. Ia lirik jam di tangannya,
pukul sembilan. Prima berencana naik pesawat jam lima waktu Malaysia. Pesawat
jam berapa yang kecelakaan itu ?
Dering
telpon mengagetkan Nayla, membangunkannya dari pikiran kalut yang tiba-tiba
menyergapnya. Segera ia sambar pesawat telpon di dekat televisi.
”Selamat
pagi.”
”Nay ? Nay ? Oh, Sayang... Nay....” seseorang
di seberang terdengar terbata-bata di ujung sana.
“Halo, dengan siapa saya bicara ?”
“Nay…ini Tante Frida. Nayla…sabar ya
Sayang. Yang kuat ya Nak….” Terdengar isak tangis Tante Frida.
“Ada apa,
Tante ? Tante kenapa ?” Nayla ikut panik.
Yang
terdengar bunyi tangisan.
”Tante...?”
Hati Nayla tak enak.
”Nak,
maafkan Tante ya Nak. Maaf Tante harus mengabarkan berita buruk. Nayla sudah
lihat televisi ? Tentang berita kecelakaan pesawat dari Kualalumpur itu ?”
”Sudah
Tante...”
”Yang sabar, ya Nak. Yang kuat ,
Prima ada di dalamnya. Baru saja Tante dapat kepastian kalau Prima menjadi
salah sati korban meninggal dunia...,” kalimat itu menggantung, terputus oleh
tangisan Tante Frida. ”Yang kuat ya Nak.”
Nayla terpaku. Ia diam. Tercenung. Hadi.
Laki-laki tampan. Yang awal minggu ini mengirim 20 kuntum mawar merah jambu.
Laki-laki yang baik hati itu, yang tak bisa ia balas cintanya. Kini ia telah
pergi. Selamanya. Apakah Nayla harus merasa lega ?
“Nay…,” suara ibunya memecah hening.
Nayla menghampirir ibunya. “Prima ada di
pesawat itu, Bu. Ia meninggal,: bisiknya pelan sambil memeluk
sang ibu. Pelukan itu bertambah erat ketika ia merasa ibunya menangis.
””Prima
tidak akan menelepon Nayla lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar