Selasa, 06 November 2012

Telepon Terakhir



“Dari Prima ?” Tanya Ibu, seolah sambil lalu padahal di telinga Nayla, suara Ibu terdengar sangat antusias.
“Iya Bu.”
“Di mana dia sekarang ?”
”Masih di Kualalumpur.” Nayla pura-pura mengalihkan pandangan matanya ke televisi. Tapi nampaknya Ibu belum ingin berhenti membahas masalah ini.
”Kapan pulang ?”
”Tidak tahu, Bu, tadi Nay tidak sempat tanya. Prima juga ndak bilang.”
”Lho....memangnya tadi kalian bicara apa saja ?”
Dalam hati Nayla membatin. Ibu mirip wartawan. Selalu bisa memancing dengan pertanyaan yang tepat dan tidak pernah puas dengan jawaban singkat.
“Ya ngobrol biasa saja. Tentang pekerjaan Prima, pekerjaan Nayla..”
”Apa Prima tidak ingin pulang ?”
”Tidak tahu, Bu.”
”Lain kali kalau telepon lagi, tanya. Kapan kamu pulang Prim?  Begitu.”
Nayla terdiam. Bertanya pada Prima kapan dia pulang ? Untuk apa ? Matanya kembali ke televisi, meski pikirannya entah ke mana.
”Nay...”
”Ya, Bu.”
”Kamu tidak suka sama Prima ?”
”Mmmmm.....”
”Kok lama mikirnya.”
”Biasa saja, Bu  Kami belum lama kenal. Ketemu juga baru beberapa kali. Seringnya telepon saja,” kata Nayla pelan.
”Ibu lihat, Prima laki-laki yang baik. Sopan dan penuh perhatian. Kapan itu dia mengirim bunga padamu, kan ? Waktu kamu mendapat promosi jabatan di kantor ?”
Nayla hanya mengangguk, enggan.
”Nay.... Ibu ajak bicara kok diam saja,” tegur Ibu.
”Iya, Bu.  Tadi Nay juga sudah mengangguk. Prima memang pernah kirim bunga waktu itu. Semua orang jadi meledek Nay. Bikin heboh saja.”
”Lho, malah bagus kan, jadi sekarang semua orang tahu kalau kamu sudah laku, Nay...hehehe..,” ibu Nayla tertawa kecil.
Nayla diam saja. Kapan ibu akan berhenti ?
”Seharusnya kamu bersyukur, Nay. Menurut Ibu Prima itu baik hati lho.  Jarang ada laki-laki seperti itu, apalagi jaman sekarang. Sudah baik hati, tampan, pintar, puny pekerjaan mapan. Wah, semua gadis pasti mengidamkan laki-laki seperti itu untuk jadi suaminya.”
Idaman siapa ? Lagi-lagi Nayla berbisik dalam hati. Ada sesuatu yang seolah mencubit hatinya. Pelan tapi perih.
Sejak bercerai tiga tahun lalu , Nayla memang jadi lebih pendiam. Ia berubah. Ia memang tidak terlalu menyendiri, karena teman-temannya cukup banyak. Kebiasaan nonton bioskop sepulang kerja masih sering ia lakukan ramai-ramai bersama mereka. Akhir pekan pun sering ia habiskan dengan berjalan-jalan, mellihat kota lain, atau sesekali ke luar negeri. Berlibur rutin setahun dua kali. Sejak hidup sendiri, Nayla lebih leluasa mengeluarkan uang untuk menghibur diri. Dan hasilnya tampak pada kepribadiannya. Ia menjadi lebih percaya diri, berani tampil, dan mulai lebih memikirkan untuk berdandan. Tapi, di sisi lain, ia jadi lebih pendiam. Jika tidak perlu, jarang sekali bercengkrama. Ia tetap teman yang baik, yang mau memberi pendapat bila ditanya Namun ia seperti kehilangan antusiasme bicara.
Sejak berpisah dari Dito, Nayla memilih tenggelam dalam pekerjaan. Hasilnya ? Kariernya pun melesat, melebihi teman-teman yang masuk ke kantor itu bersamaan dengannya.
”Tentu saja, dia bisa cepat dapat promosi, dia kan tidak perlu memikirkan yang lain-lain,” Sita menanggapi sinis ketika Nayla mendapat promosi jabatan.
”Ah, Nayla memang pintar kok,” bela Dina. “Dulu pun Nay selalu menjadi yang terbaik kalau ikut pelatihan. Ingat tidak ?”
”Iya, maksud Sita, Nay tidak perlu repot-repot berpikir soal suami, apalagi soal anak. Dia hanya perlu memikirkan dirinya sendiri. Semua dia putuskan sendiri,” timpal Mita.
”Betul itu, karena semua waktu dia habiskan sendiri, dia bisa melulu berpikir soal karier. Jadi cepat naik kan ?” kata Sita.
”Tapi apa kamu pikir Nay bahagia hidup sendiri ? Pulang kerja tidak ada yang menyambut, tidak ada yang bertanya tentang harinya ?” Dina bertanya sambil melirik ke arah ruangan Nayla. “Kalian pikir, enak hidup begitu ?”
“Ya…kalau aku  sih, memilih hidup begini saja deh. Tidak perlu jabatan tinggi, tapi aku punya suami yang sayang sama aku, dan ada anak-anak yang bisa dijadikan hiburan,” kata Mita sammbil tertawa kecil.
”Ah, memang kamunya saja yang kurang semangat kerja,” sergah Sita.
”Memangnya kamu suka punya jabatan tinggi tapi hidup sendiri ?” tanya Dina pada Sita.
”Tidak juga sih. Makanya aku bilang Nay curang, dia bisa konsentrasi berkariertanpa harus memikirkan urusan rumah tangga kan ?”
”Itu bukan curang, itu nasib,” imbuh Mita. ”Nasib malang....”
Kata-kata Mita terputus karena obyek pembicaraan mereka tuba-tiba keluar dari ruangannya. Nayla tersenyum sekilas sebelum berkata, ”Saya minta report dari meeting kemarin ya. Nanti saja, habis makan siang. Kalian mau makan di mana ? Boleh saya ikut ?”
Nayla bukannya tidak tahu bahwa ia sering jadi bahan pembicaraan di kantor. Bahkan oleh teman-temannya sendiri yang sekarang menjadi anak buahnya. Usia 30 tahun, cantik, pintar, jabatan tinggi, janda. Siapa yang tidak tergoda membicarakan ?
Nayla mengenal Prima dari Tante Frida, teman ibunya. Meski agak jengah karena jelas-jelas dijodohkan, Nayla tidak sampai hati menolak ketika ibu memaksa ia berkenalan dengan Prima. Jadilah mereka bertemu di sebuah pengajian, di rulah Tante Frida yang juga tantenya Prima. Perkenalan yang singkat. Tapi nampaknya membekas di hati Prima. Sejak itu, tak sehari pun dilewatkan Nayla tanpa menerima pesan pendek dari laki-laki itu. Meski tinggal di Kualalumpur, Prima tak segan menelpon Nayla. Minimal seminggu sekali.
”Kalau telpon begini apa tidak mahal ?” tanya Nayla suatu hari.
”Biarpun mahal, kalau  ada gunanya kan tidak apa-apa,” terdengar tawa kecil Prima di seberang sana.
”Hmmm...memang ada gunanya ?” goda Nayla.
“ya ada. Menelpon perempuan secantik kamu pasti ada manfaatnya,’ Prima terbahak.
Nayla terdiam. Ia selalu risih kalau Prima memujinya. Sambil bercanda sekalipun. Hanya kesopanan yang membuatnya tetap menerima telpon Prima dan berusaha berbincang akrab. Paling tidak seminggu sekali, ia mendengar suara Prima yang meski ramah tapi tak bisa menggugah hatinya.
”Malam ini kamu ada acara ?” Suara Prima terdengar ceria, seperti biasa, minggu lalu.
”Tidak, aku langsung pulang,” jawab Nayla datar.
”Masih sering lembur ?”
”Ya...tidak setiap hari, kok.”
“Jangan terlalu capek. Hati-hati kalau pulang malam.”
”Terima kasih.”
Percakapan terhenti beberapa saat. Jeda yang terjadi terasa sangat lama, apalagi bagi Nayla yang sebenarnya ingin sambungan telepon internasional itu segera berakhir.
”Prim ?” akhirnya suara Nayla memecah kebisuan.
”Ya ?”
”Kalau diam-diaman begini, sayang pulsanya.’
“Hahahaha….kamu bisa saja,” tawa Prima terdengar riang. ”Terus terang, aku bingung,” tambahnya.
“Bingung ?”
“Iya, aku bingung mau ngomong apa.”
“Kok bingung.”
“Habis yang terbayang di kepalaku wajah cantik kamu saja. Lidahku jadi kelu.” Nayla terbayang Prima mengucapkannya dengan tersenyum. “Aku kangen ngobrol langsung.”
“Ya kalau begitu pulang saja,’ tutur Nayla spontan. Ia lalu teringat kata ibunya, yang masih rajin menanyakan kapan Prima pulang.
”Ke Jakarta ? Kamu mau aku ke Jakarta ?” suara Prima tiba-tiba terdengar bersemangat sekali.
”Hmm...ya kalau kamu mau.”
”Kamu serius Nay ? Kamu sungguh-sungguh ingin aku ke Jakarta ? Pulang begitu ?”
”Tadi katanya kangen,” Nayla salah tingkah.
”Bukan...maksudku kamu betul-betul ingin aku menemui kamu ?”
”Ya, kalau kamu mau...”
”Nay, tahu tidak...aku senang sekali kalau kamu ingin aku ke Jakarta. Kupikir, tadinya, aku bertepuk sebelah tangan,” suara Prima terdengar makin gembira.
“Hmmmm….” Nayla kehilangan kata. “memangnya kamu tidak kangen bertemu orangtua juga ?”
”Yaaaaah...kangen tentu saja. Tapi kan beda. Begini deh. Begitu aku bisa membereskan pekerjaanku, aku akan ke Jakarta, Nay. Bahkan jika pun hanya bisa sebentar. Yang penting ketemu kamu. Makan siang berdua saja atau makan malam bareng, sudah cukup.”
”Ya...”
”Nay, aku senang sekali. Betul ini. Aku bahagia karena kamu ingin aku ke Jakarta. Rasanya jadi tidak sabar ingin segera mencari tanggal.”
Nayla diam saja. Jeda lagi.
”Prim, aku boleh siap-siap pulang ya ? Di sana juga tentu sudah malam, kan ? Kamu nggak pulang ?” Akhirnya Nayla tidak punya pilihan kata lain.
”Iya...iya...boleh. Sudah dulu ya. Hati-hati di jalan. Nanti sms aku kalau sudah sampai rumah ya. Jadi aku tahu kamu baik-baik saja.”
Nayla bisa membayangkan senyum Prima. ”ya, Prim. Terima kasih ya.”
”Aku yang harus bilang terima kasih. Hati-hati ya Sayang.:
Nayla tercekat sesaat sebelum berucap, ”Bye Prim.”
Sayang ? Sayang siapa ? Dia ?
Rangkaian bunga mawar merah muda menyambutnya ketika masuk ke ruangan pagi hari itu, ”Cannot wait to see you real soon’ adalah kata-kata yang tertera di kartunya. Bunga itu dikirim melalui jasa pengiriman online, yang membuat Nayla sadar bahwa Prima yang mengirimnya. Segera ia kirim sms.
”Thank you for the flower.”
”You are most welcome. I hope you like it. See, the world is only one click away. Bahkan mau mengirim kado pun tak perlu bersusah-susah ke took sendiri.’ Balasan sms dari Prima secepat kedipan mata.
“Terima kasih.” Nayla mengetikkan kata itu karena tidak tahu lagi hendak mengatakan apa.
”Ya. Sampai ketemu lusa ya.” Jawaban Prima seketika membuat Nayla merinding. Lusa Prima mau ke Jakarta ? Untuk apa ?
”Mau konferensi di Jakarta ?”
”Nope, I want to see you.” Saat itu juga Nayla merasa perutnya sakit.
Nayla juga tak paham mengapa Prima tak bisa melumerkan kebekuan hatinya. Kebaikan hati dan perhatian Prima yang besar tak juga membuat Nayla tergerak untuk membalas dengan cinta yang sepadan. Rasa sakit ditinggalkan Dito seperti masih menusuk-nusuk hati, jika Nayla memikirkan hubungannya dengan Prima atau lelaki manapun. Trauma ? Mungkin saja. Sebetulnya Nayla lebih memilih hidup sendiri saja, karena dibayangi ketakutan akan disakiti lagi. Tak ada yang menghalanginya melajang seumur hidup, apalagi secara finansial ia tak punya masalah. Hanya ada satu yang mengganjal, yaitu ibunya. Ibu tak henti menjejalkan ide bahwa menikah kembali akan membuat Nayla menjadi lebih bahagia. Menikah lagi dan memiliki anak, seolah menjadi kewajiban yang harus dipenuhi Nayla untuk membahagiakan ibunya.
”Ibu sudah tua, sudah pengen sekali menggendong cucu.” Ibu selalu menutup pembicaraan tentang masa depan Nayla dengan kalimat itu.
Ibu juga yang membuat Nayla tak jujur pada Prima tentang perasaannya. Bahwa ia belum bisa, atau tak bisa, mencintai Prima. Bukan hanya karena ia tahu Prima akan patah hati, ia tak sampai hati menghancurkan hati ibunya yang sangat berharap , suatu hari, laki-laki baik hati itu mennjadi menantunya.
Hari ini Prima dating. Nayla tidak akan lupa bahwa hari ini Prima akan terbang ke Jakarta.
”Aku meeting hingga siang di daerah Sudirman. Sorenya, aku jemput kamu. Lalu kita makan malam bersama. Nanti pulangnya tentu aku antar,” kata Prima kemarin. ”Tolong kamu pilih restoran mana yang agak bagus, Yang romantis, gitu...” lanjutnya. ”Terserah kamu di daerah mana, yang penting kamu suka.”
”Ya Prim, sampai besok. Hati-hati. Selamat jalan ya,” hanya itu yang bisa diucapkan Nayla. Prima akan mengantar Nayla pulang, bertemu ibu. Pasti ibu akan senang.
Di telepon, Prima terdengar sangat bersemangat dengan rencana-rencana mengisi akhir pekan bersama Nayla. Ke pantai, berenang, makan seafood, main banana boat…dan seterusnya. Semua kegiatan yang sesungguhnya juga disukai Nayla, tapi saat ini memikirkannya saja sudah membuat hatinya galau. Kalau boleh memilih, ia tak ingin Prima ada. Tapi, apa bisa ?
Nayla menghela nafas. Akhirnya ia berkeputusan, malam nanti jujur mengatakan pada Prima tentang yang ia rasakan selama ini. Hatinya perih membayangkan akan menyakiti perasaan seseorang yang sangat baik hati. Tapi aku juga harus jujur pada diriku sendiri, pikir Nayla. Tak adil membiarkan Prima menunggu cintanya entah sampai kapan. Nayla keluar dari kamar. Di ruang keluarga, ia melihat ibunya sedang terpaku di depan televisi.
”Ada berita apa Bu ? Serius sekali,” sapa Nayla sambil mengambil roti untuk sarapan.
”Itu lho, Ndhuk, ada kecelakaan pesawat pagi ini. Wah pasti banyak orang Indonesia yang jadi korban, wong pesawatnya mau ke Jakarta,’ mata ibu tak lepas dari televisi.
”Memangnya pesawat itu dari mana ?” Nayla ikut melihat ke telenisi. Nampaknya seorang jurnalis televisi sedang berada di sana hingga bisa merekam seluruh kejadian dengan lengkap. Sebuah pesawat terlihat mendarat miring, lambungnya menghitam. Asap mengepul. Terlihat hiruk pikik orang mondar mandir menggotng korabn. Ada wajah-wajah ketakutan. Ada yang menangis. Ada yang berteriak-teriak. Suasananya kacau. Satu dentuman hebat terdengar. Asap hitam membubumbung ke angkasa. Keadaan mencekam sekali. Ketika kamera televisi menyorot ke arah ekor pesawat yang sepertinya terlempar jauh, nampak logo maskapai penerbangan ternama dari Malaysia terpampang di sana. Sesuatu seperti lolos dari perasaan Nayla. Itu maskapai penerbangan yang dipakai Prima. Apakah Prima ada di dalamnya ? Nayla seketika merasa hatinya gundah. Ia lirik jam di tangannya, pukul sembilan. Prima berencana naik pesawat jam lima waktu Malaysia. Pesawat jam berapa yang kecelakaan itu ?
Dering telpon mengagetkan Nayla, membangunkannya dari pikiran kalut yang tiba-tiba menyergapnya. Segera ia sambar pesawat telpon di dekat televisi.
”Selamat pagi.”
”Nay ? Nay ? Oh, Sayang... Nay....” seseorang di seberang terdengar terbata-bata di ujung sana.
“Halo, dengan siapa saya bicara ?”
“Nay…ini Tante Frida. Nayla…sabar ya Sayang. Yang kuat ya Nak….” Terdengar isak tangis Tante Frida.
“Ada apa, Tante ? Tante kenapa ?” Nayla ikut panik.
Yang terdengar bunyi tangisan.
”Tante...?” Hati Nayla tak enak.
”Nak, maafkan Tante ya Nak. Maaf Tante harus mengabarkan berita buruk. Nayla sudah lihat televisi ? Tentang berita kecelakaan pesawat dari Kualalumpur itu ?”
”Sudah Tante...”
”Yang sabar, ya Nak. Yang kuat , Prima ada di dalamnya. Baru saja Tante dapat kepastian kalau Prima menjadi salah sati korban meninggal dunia...,” kalimat itu menggantung, terputus oleh tangisan Tante Frida. ”Yang kuat ya Nak.”
Nayla terpaku. Ia diam. Tercenung. Hadi. Laki-laki tampan. Yang awal minggu ini mengirim 20 kuntum mawar merah jambu. Laki-laki yang baik hati itu, yang tak bisa ia balas cintanya. Kini ia telah pergi. Selamanya. Apakah Nayla harus merasa lega ?
“Nay…,” suara ibunya memecah hening.
Nayla menghampirir ibunya. “Prima ada di pesawat itu, Bu. Ia meninggal,: bisiknya pelan sambil memeluk sang ibu. Pelukan itu bertambah erat ketika ia merasa ibunya menangis.
””Prima tidak akan menelepon Nayla lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar